1.
Pengertian Perkembangan Kognitif
Sama halnya dengan sejumlah aspek perkembangan yang
lainnya, kemampuan kognitif anak juga mengalami perkembangan tahap demi tahap
menuju kesempurnaannya. Secara sederhana, kemampuan kognitif dapat dipahami
sebagai kemampuan anak untuk berpikir lebih kompleks serta kemampuan melakukan
penalaran dan pemecahan masalah (Desmita, 2009: 96). Dengan berkembangnya
kemampuan kognitif ini akan memudahkan untuk menguasai pengetahuan umum yang
lebih luas, sehingga anak mampu menjalankan fungsinya dengan wajar dalam
interaksinya dengan masyarakat dan lingkungan sehari-hari.
Sehingga dapat dipahami bahwa perkembangan kognitif
adalah salah satu aspek perkembangan peserta didik yang berkaitan dengan
pengetahuan, yaitu semua proses psikologis yang berkaitan dengan bagaimana
individu mempelajari dan memikirkan lingkungannya (Desmita,2009: 97).
Menurut Myers (1996), “cognition refers to all the
mental activities associated with thinking, knowing, and remembering.”
Pengertian yang hampir senada juga diberikan Margaret W. Matlin (1994), yaitu:
“cognition, or mental activity, involves the acquisition, storage,
retrieval, and use of knowledge.” Dalam Dictionary of Psychologykarya
Drever, dijelaskan bahwa “kognisi adalah istilah umum yang mencakup segenap
model pemahaman, yakni persepsi, imajinasi, penangkapan makna, penilaian, dan
penalaran” (Kuper & Kuper,2000). Kemudian dalam Dictionary of
Psychology karya Chaplin (2002), dijelaskan bahwa “kognisi adalah
konsep umum yang menakup semua bentuk pengenal, termasuk di dalamnya mengamati,
melihat, memperhatikan, memberikan, menyangka, membayangkan, memperkirakan, menduga,
dan menilai.
Sejumlah ahli psikologi juga menggunakan istilah thinking atau
pikiran ini untuk menunjuk pengertian
yang sama dengan cognition (kognisi), yang mencakup berbagai
aktivitas mental, seperti: penalaran, pemecahan masalah, pembentukan konsep-konsep,
dan sebagainya. Dalam hal ini Myers (1996) menjelaskan bahwa,”thinking, or
cognition, is the mental activity associated with processing, understanding and
communicating information ... these mental activities, including the logical
and sometimes illogical ways in wich we create concepts, slove problems, make
decisions, and form judgements.” Atkinson, dkk., (1991) mengartikan
berpikir sebagai “kemampuan membayangkan dan menggambarkan benda atau peristiwa
dalam ingatan dan bertindak berdasarkan penggambaran ini. Pemecahan masalah
yang berdasarkan pikiran dibedakan dengan pemecahan masalah melalui manipulasi
yang nyata.”
Dari beberapa pengertian di atas dapat dipahami bahwa
kognitif adalah sebuah istilah yang
digunakan oleh psikolog untuk menjelaskan semua aktivitas mental yang
berhubungan dengan persepsi, pikiran, ingatan, dan pengolahan informasi yang
memungkinkan seseorang memperoleh pengetahuan, memecahkan masalah dan
merencanakan masa depan atau semua proses psikologis yang berkaitan
dengan bagaimana individu memperlajari, memperhatikan, mengamati, membayangkan,
memperkirakan, menilai, dan memikirkan lingkungannya.
2.
Proses Perkembangan Kognitif Bayi sampai Remaja
Dalam pembahasan proses perkembangan
kognitif, terdapat beberapa alternatif proses perkembangan kognitif,
diantaranya pada teori dan tahap-tahap perkembangan yang dikemukakan oleh
Piaget, teori perkembangan kognitif Vygotsky, dan proses perkembangan kognitif
oleh para pakar psikologi pemrosesan informasi.
a. Teori Perkembangan Kognitif Piaget
Teori perkembangan kognitif menurut
Piaget, Perkembangan kognitif seorang anak terjadi secara bertahap, lingkungan
tidak dapat mempengaruhi perkembangan
pengetahuan anak. Seorang anak tidak dapat menerima pengetahuan secara langsung
dan tidak bisa langsung menggunakan pengetahuan tersebut, tetapi pengetahuan
akan didapat secara bertahap dengan cara belajar secara aktif di lingkungan
sekolah.
Menurut Piaget (dalam Desmita, 2009: 98), konsep dan prinsip tentang sifat-sifat perkembangan
kognitif anak, antara lain:
1). Anak adalah
pembelajar yang aktif.
Piaget meyakini bahwa anak tidak hanya mengobservasi dan
mengingat apa-apa yang mereka lihat dan dengar secara pasif. Sebaliknya, secara
natural mereka memiliki rasa ingin tahu tentang dunia mereka dan secara aktif
berusaha mencari informasi untuk membantu kesadaran dan pemahamannya tentang
realitas dunia yang mereka hadapi. Ia secara terus menerus mengadakan
eksperimen dengan objek yang mereka temui, memanipulasi sesuatu dan
mengobservasi efek-efek dari tindakannya.
2). Anak mengorganisasi apa yang mereka pelajari dari
pengalamannya.
Anak-anak tidak hanya mengumpulkan apa-apa yang mereka
pelajari dari fakta-fakta yang terpisah menjadi suatu kesatuan. Sebaliknya,
anak secara gradual membangun suatu pandangan menyeluruh tentang bagaimana
dunia bergerak.
3). Anak menyesuaikan diri dengan lingkungan melalui
proses asimilasi dan akomodasi.
Asimilasi terjadi ketika seorang anak memasukkan pengetahuan
baru ke dalam pengetahuan yang sudah ada, yakni anak mengasimilasikan lingkungan
ke dalam suatu skema. Akomodasi terjadi ketika anak menyesuaikan diri pada
informasi baru, yakni anak menyesuaikan skema mereka dengan lingkungannya.
4). Ekuilibrasi
Yaitu adanya kemampuan atau sistem mengatur dalam diri organisme agar dia selalu
mempu mempertahankan keseimbangan dan penyesuaian diri terhadap lingkungannya. Proses pengaturan diri dan pengoreksi diri
(ekuilibrasi), mengatur interaksi spesifik dari individu dengan lingkungan
maupun pengalaman fisik, pengalaman sosial dan perkembangan jasmani yang
menyebabkan perkembangan kognitif berjalan secara terpadu dan tersusun baik.
Dalam pandangan Piaget, anak-anak secara aktif
membangun dunia kognitif mereka dengan menggunakan skema untuk menjelaskan
hal-hal yang mereka alami.Skema adalah struktur kognitif yang digunakan oleh
manusia untuk mengadaptasi diri terhadap lingkungan dan menata lingkungan ini
secara intelektual. Piaget
(dalam Suyadi, 2010: 79-80) mengatakan bahwa ada tiga proses yang bertanggung
jawab atas seseorang menggunakan dan mengadaptasi skema mereka:
a). Asimilasi adalah proses menambahkan informasi baru ke dalam
skema yang sudah ada. Proses ini bersifat subjektif, karena seseorang akan
cenderung memodifikasi pengalaman atau informasi yang diperolehnya agar bisa
masuk ke dalam skema yang sudah ada sebelumnya.
b). Akomodasi adalah bentuk penyesuaian lain yang melibatkan pengubahan atau
penggantian skema akibat adanya informasi baru yang tidak sesuai dengan skema
yang sudah ada. Dalam proses ini dapat pula terjadi pemunculan skema yang baru
sama sekali.
c). Organisasi adalah menggabungkan ide-ide tentang sesuatu ke
dalam sistem berpikir yang koheren (masuk akal). Hal ini hanya bisa dilakukan
dengan menggabungkan asimilasi dan akomodasi.
Piaget membagi perkembangan kognitif anak ke dalam 4 periode utama yang
berkorelasi dengan dan semakin canggih seiring pertambahan usia:
1) Periode Sensorimotor (usia 0–2 tahun)
Piaget menyebut perkembangan seismotorik sebagai
periode pertama, yang berlangsung dari lahir sampai dengan umur dua tahun.
Periode seismotorik dinamakan demikian adalah karena anak memahami
lingkungannya dengan melalui penginderaan (sensori) dan melalui gerakan-gerakan
(motorik). Bayi bergerak dari tindakan refleks instinktif pada saat lahir
sampai permulaan pemikiran simbolis. Bayi membangun suatu pemahaman tentang
dunia melalui pengoordinasian pengalaman-pengalaman sensor dengan tindakan
fisik. Misalnya anak akan mengerti/mengenal suatu benda dengan memahami bahwa
tangannya dapat digerakkan ke mulut untuk diisap. Anak-anak terus-menerus
berlatih kemampuan ini dan akhirnya menjadi kebiasaan.
Bagi anak yang berada pada tahap ini, pengalaman
diperoleh melalui fisik (gerakan anggota tubuh) dan sensori (koordinasi alat
indra). Pada mulanya pengalaman itu bersatu dengan dirinya, ini berarti bahwa
suatu objek itu ada bila ada pada penglihatannya. Perkembangan selanjutnya ia
mulai berusaha untuk mencari objek yang asalnya terlihat kemudian menghilang
dari pandangannya, asal perpindahanya terlihat. Akhir dari tahap ini ia mulai
mencari objek yang hilang bila benda tersebut tidak terlihat perpindahannya.
Objek mulai terpisah dari dirinya dan bersamaan dengan itu konsep objek dalam
struktur kognitifnya pun mulai dikatakan matang. Ia mulai mampu untuk
melambungkan objek fisik ke dalam simbol-simbol, misalnya mulai bisa berbicara
meniru suara kendaraan, suara binatang, dll.
Periode sensorimoor dibagi lagi menjadi enam tahapan.
Setiap tahapan perkembangan itu menampakkan kemampuan bertingkah yang berbeda.
Berbagai kemampuan tingkah laku yang dikuasai tiap anak pada setiap tahapan
perkembangan tersebut adalah sebagai berikut (dalam Suyadi, 2010: 85-86):
No
|
Sub Tahapan
|
Usia
|
Pencapaian Perkembangan Sensorimotor
|
1
|
Gerak refleks (bawaan)
|
0-1 bulan
|
·
Bayi melakukan refleks spontan, contohnya mengisap
·
Kemampuan menggerak-gerakkan anggota badan walaupun belum terkoordinasi.
·
Kemampuan untuk mengakomodasi dam mengasimilasikan berbagai kesan yang
diterimanya dari lingkungannya.
|
2
|
Sirkuler Primer
|
1-4 bulan
|
·
Bayi melakukan reaksi yang berulang-ulang. Contohnya mengisap ibu jari dan
benda-benda lain yang dipegangnya.
|
3
|
Sirkuler sekunder
|
4-8 bulan
|
·
Bayi bereaksi melibatkan benda di luar dirinya. Contohnya bermain-main
dengan teman sebaya.
·
Dipahaminya hubungan antara perlakuannya terhadap benda dengan akibat
yang terjadi pada benda itu.
|
4
|
Koordinasi sirkuler sekunder
|
8-12 bulan
|
Bayi melakukan kombinasi gerakan pada tahap-tahap sebelumnya. Contohnya
meremas, melipat, membanting.
|
5
|
Sirkuler tersier
|
12-18 bulan
|
·
Anak mampu mencari cara baru untuk meraih keinginannya. Contohnya
memanjat, membanting
·
Kemampuan untuk meniru.
·
Kemampuan untuk melakukan berbagai eksperimen terhadap lingkunagn lebih
lancar.
|
6
|
Berpikir
|
18-24 bulan
|
·
Kemampuan untuk mengingat dan berpikir.
·
Kemampuan untuk berpikir dengan mempergunakan simbol-simbol bahasa
sederhana.
·
Kemampuan berpikir untuk memecahkan masalah sederhana, sesuai
dengantingkat perkembangannya.
·
Kemampuan memahami diri sendiri dengan individu mulai berkembang.
|
2) Periode
Pra-operasional (usia 2–7 tahun)
Periode perkembangan berpikir kedua yang penting
meurut Piaget, disebut peroide praoperasional. Periode ini berlangsung antara
umur dua sampai tujuh tahun. Penggunaan istilah operasi di sini dimaksudkan
sebagai gambaran bahwa anak telah mempergunakan aktivitas mental dalam
berpikir. Anak mulai mempresentasikan dunia dengan kata-kata dan gambar-gambar.
Kata-kata dan gambar ini menunjukkan adanya peningkatan pemikiran simbolis dan
melampaui hubungan informasi indrawi dan tindakan fisik. Misalnya anak telah
dapat mengkombinasikan dan mentransformasikan berbagai informasi. Anak telah
mampu mengemukakan alasan-alasan dalam mengatakan ide-idenya, dan mengerti
adanya hubungan sebab akibat dalam suatu peristiwa konkret, walaupun logika
hubungan sebab akibat itu belum tepat. Pada tahap ini pemikiran anak lebih
banyak berdasarkan pada pengalaman konkret daripada pemikiran logis, sehingga
jika ia melihat objek-objek yang kelihatannya berbeda, maka ia mengatakanya
berbeda pula.
Karakteristik perkembangan kognitif pada tahap
pra-operasional dapat dilihat pada tabel berikut (dalam Suyadi, 2010: 87):
No
|
Karakteristik
|
usia
|
Pencapaian Perkembangan
Pra-Operasional
|
1
|
Kombinasi mental
|
2 - 7 tahun
|
Anak dapat berpikir sebelum bertindak, walaupun
pikirannya masih sebatas mental image. Di samping itu anak mampu meniru
tindakan orang lain.
|
2
|
Persepsi pikiran
|
Anak bisa membandingkan dua objek tetapi belum bisa
membedakan.
|
|
3
|
Beroikir uni dimensi
|
Anak mampu memahami konsep secara umum, tetapi belum
bisa memadukan dan membedakan
|
|
4
|
Irreversibilitas
|
Anak bis membongkar susunan, tetapi belum mampu
menyusun kembali
|
|
5
|
Penalaran
|
Tahap pemikiran anak masih sebatas mitos
|
|
6
|
Egosentrisme
|
Anak memandang semua benda sebagaimana ia melihat
dirinya.
|
3) Periode Operasional Konkret (usia 7–11
tahun)
Periode perkembangan yang ketiga berlangsung ketika
anak berusia antara tujuh tahun sampai dengan sebelas. Periode ini terjadi pada
saat anak dalam usia Sekolah Dasar. Anak yang telah memasuki tahap ini telah
mampu untuk berpikir logis untuk menyelesaikan masalah. Walaupun demikian
anak-anak pada tahap ini masih memerlukan objek konkrit dalam belajar. Demikian
dalam memahami suatu konsep, anak sangat terikat pada proses mengalami sendiri,
artinya anak mudah memahami konsep kalau pengertian konsep itu dapat diamati
anak, atau melakukan sesuatu yang berkaitan dengan kosep itu. Oleh karena itu
anak hanya mampu menyelesaikan masalah-masalah yang divisualkan, dan sangat
sulit bagi anak untuk memahami masalah-masalah yang sifatnya verbal.
Pada umumnya anak-anak pada tahap ini telah memahami
operasi logis dengan bantuan benda benda konkret. Kemampuan ini terwujud dalam
memahami konsep kekekalan, kemampuan untuk mengklasifikasikan dan serasi, mampu
memandang suatu objek dari sudut pandang yang berbeda secara objektif. Anak
pada tahap ini sudah cukup matang untuk menggunakan pemikiran logika, tetapi
hanya objek fisik yang ada saat ini (karena itu disebut tahap operasional
konkret). Namun, tanpa objek fisik di hadapan mereka, anak-anak pada tahap ini
masih mengalami kesulitan besar dalam menyelesaikan tugas-tugas logika.
4) Periode Operasional Formal (usia 11 tahun
sampai dewasa)
Anak pada tahap ini sudah mampu melakukan penalaran
dengan menggunakan hal-hal yang abstrak dan menggunakan logika dan lebih
idealistik . Penggunaan benda-benda konkret tidak diperlukan lagi. Anak mampu
bernalar tanpa harus berhadapan dengan dengan objek atau peristiwa berlangsung.
Penalaran terjadi dalam struktur kognitifnya telah mampu hanya dengan
menggunakan simbol-simbol, ide-ide, astraksi dan generalisasi. Ia telah
memiliki kemampuan-kemampuan untuk melakukan operasi-operasi yang menyatakan
hubungan di antara hubungan-hubungan, memahami konsep promosi.
b. Teori Perkembangan Kognitif Vygotsky
Seperti Piaget, Vygotsky menekankan bahwa anak-anak secara
aktif menyusun pengetahuan mereka. Akan tetapi menurut Vygotsky, fungsi-fungsi
mental memiliki koneksi-koneksi sosial. Vygotsky berpendapat bahwa anak-anak
mengembangkan konsep-konsep lebih sistematis, logis, dan rasional sebagai
akibat dari percakapan dengan seorang penolong yang ahli.
1). Konsep Zona Perkembangan Proksimal (ZPD)
Zona Perkembangan Proksimal adalah istilah Vygotsky
untuk rangkaian tugas yang terlalu sulit dikuasai anak seorang diri tetapi
dapat dipelajari dengan bantuan dan bimbingan orang dewasa atau anak-anak yang
terlatih. Menurut teori Vygotsky, Zona Perkembangan Proksimal merupakan
celah antara actual development dan potensial
development, dimana antara apakah seorang anak dapat melakukan sesuatu
tanpa bantuan orang dewasa dan apakah seorang anak dapat melakukan sesuatu
dengan arahan orang dewasa atau kerjasama dengan teman sebaya. Batas bawah
dari ZPD adalah tingkat keahlian yang dimiliki anak yang bekerja secara
mandiri. Batas atas adalah tingkat tanggung jawab tambahan yang dapat diterima
oleh anak dengan bantuan seorang instruktur. Maksud dari ZPD adalah
menitikberatkan ZPD pada interaksi sosial akan dapat memudahkan perkembangan
anak.
2). Konsep Scaffolding
Scaffolding ialah perubahan tingkat dukungan. Scaffolding adalah
istilah terkait perkembangan kognitif yang digunakan Vygotsky untuk
mendeskripsikan perubahan dukungan selama sesi pembelajaran, dimana orang yang
lebih terampil mengubah bimbingan sesuai tingkat kemampuan anak.Dialog adalah
alat yang penting dalam ZPD. Vygotsky memandang anak-anak kaya konsep tetapi
tidak sistematis, acak, dan spontan. Dalam dialog, konsep-konsep tersebut dapat
dipertemukan dengan bimbingan yang sistematis, logis, dan rasional.
c. Perkembangan Kognitif Menurut Pandangan Kontemporer
Selama bertahun-tahun teori Piaget tentang perkembangan
kognitif sangat disanjung dan dikenal secara luas. Gagasan-gagasan Piaget
sangat menarik bagi banyak orang, sebab ia merupakan inti dari perkembangan.
Beratus-ratus teori juga membuktikan bahwa mayoritas bayi berperilaku
sebagaimana digambarkan Piaget.
Akan tetapi belakangan ini muncul pemahaman baru
tentang perkembangan kognitif bayi. Dengan menggunakan teknik-teknik
eksperimental yang sangat maju, telah lahir sejumlah hasil penelitian baru
tentang perkembangan kognitif bayi dan di antara hasil penelitian baru tersebut
merekomendasikan agar teori perkembangan sensoris-motorik Piaget dimodifikasi
secara mendasar.
Menurut Santrock (1998), dewasa ini teori perkembangan
sensoris-motorik Piaget telah disanggah dari dua sumber. Pertama, penelitian
dalam bidang perkembangan persepsi bayi menunjukkan bahwa bayi telah membentuk
suatu dunia persepsi yang stabil dan berbeda jauh lebih awal daripada yang
dibayangkan oleh Piaget.Kedua, para peneliti baru-baru initelah
menemukan bahwa memori dan bentuk-bentuk kegiatan simbolis lainnya terjadi pada
semester kedua tahun pertama.
Pandangan-pandangan kontemporer tentang
perkembangan kognitif ini kemudian juga mendapat sokongan yang penting dalam
para psikologi pemrosesan informasi. Kalau Piaget meyakini bahwa perkembangan
kognitif bayi baru tercapai pada pertengahan tahun kedua, maka para pakar
psikologi pemrosesan informasi percaya bahwa perkembangan kognitif, seperti
kemampuan dalam memberikan perhatian, menciptakan simbolisasi, meniru dan
kemampuan konseptual, telah dimiliki bayi lebih awal.
3.
Karakteristik Perkembangan Kognitif Peserta Didik
Dalam (Desmita, 2009: 104-109) karakteristik
perkembangan kognitif peserta didik dibagi dalam dua tahap yaitu tahap usia
sekolah (SD) dan Remaja (SMP dan SMA).
a). Usia Sekolah (Sekolah Dasar)
Berdasarkan pada teori kognitif Piaget, pemikiran anak-anak usia sekolah dasar
masuk dalam tahap pemikiran kongkret-operasional, yaitu masa dimana aktivitas
mental anak terfokus pada objek-objek yang nyata atau pada berbagai kejadian
yang pernah dialaminya. Menurut pieget, operasi adalah hubungan-hubungan logis
di antara konsep-konsep atau skema-skema. Sedangkan opersi kongkret adalah aktifitas
mental yang difokuskan pada objek-objek dan peristiwa-peristiwa nyata atau
kongkreat dapat di ukur (dalam Desmita 2009:104).
Artinya anak usia sekolah dasar sudah memiliki
kemampuan untuk berpikir melalui urutan sebab akibat dan mulai mengenali
berbagai cara pemecahan permasalahan yang dihadapinya. Anak usia ini juga dapat
mempertimbangkan secara logis hasil dari sebuah kondisi atau situasi serta tahu
beberapa aturan atau strategi berpikir, seperti penjumlahan, pengurangan
penggandaan, mengurutkan sesuatu secara berseri dan mampu memahami operasi
dalam sejumlah konsep, seperti 5 x 6 = 30 dan 30 : 6 = 5 Jhonson & Medinnus
(dalam Desmita, 2009: 104).
Menurut Piaget (dalam Desmita, 2009:104), anak-anak
pada masa kongkret operasional (masa sekolah SD) ini telah mampu menyadari
konservasi, yakni kemampuan anak untuk berhubungan dengan sejumlah aspek yang
berbeda secara serempak (Jhonson & Medinnus, 1974). Hal ini adalah karena
pada masa ini anak telah mengembangkan tiga macam proses yang disebut dengan
operasi-operasi: negasi, resiprokasi, dan identitas.
1). Negasi (negation)
Pada masa pra-opersional anak hanya melihat keadaan
permulaan dan akhir dari deretan benda, dengan kata lain mereka hanya
mengetahui permulaan dan akhirnya saja tetapi belum memahami alur tengahnya.
Tetapi pada masa kongkret opersional, anak memahami proses apa yang terjadi
diantara kegiatan itu dan memahami hubungan-hubungan antara keduanya.
2). Hubungan timbal balik
(resiprokasi)
Ketika anak melihat bagaimana deretan dari benda-benda
itu diubah, anak mengetahui bahwa deretan benda-benda bertambah panjang, tetapi
tidak rapat lagi dibandingkan dengan deretan lain. Karena anak mengetahui
hubungan timbal balik antara panjang dan kurang rapat atau sebaliknya kurang
panjang tetapi lebih rapat, maka anak tahu pula bahwa jumlah benda-benda yang ada
pada kedua deretan itu sama (dalam Desmita, 2009:105). Sehingga dalam masa ini
anak mulai mengerti tentang hubungan timbal balik.
3). Identitas
Menurut Gunaris (dalam Desmita,2009), Pada usia
sekolah (SD) anak sudah mengetahui berbagai benda yang berada dalam suatu
deretan, bisa menghitung, sehingga meskipun susunan dalam deret di pindah, anak
tetap mengetahui jumlahnya sama Jadi, anak pada usia sekolah (masa Konkrit
operasional) dapat mengetahui identitas berbagai benda dan mulai memahami akan
susunan dan urutan tertentu.
b). Remaja (SMP dan SMA)
Menurut Lerner & Hustlsch, kemampuan anak pada
usia remaja sudah semakin berkembang hingga memasuki tahap pemikiran
operasional formal. Yaitu suatu tahap perkembangan kognitif yang dimulai pada
usia kira-kira 11 dan 12 tahun dan terus berlanjut sampai usia remaja
sampai masa dewasa (dalam Desmita, 2009). Pada masa remaja, anak sudah mampu
berpikir secara abstrak, menalar secara logis, dan menarik kesimpulan dari
informasi yang sudah tersedia.
Anak sudah mampu berpikir secara abstrak dan
hipotesis, sehingga ia mampu berpikir apa yang terjadi atau apa yang akan
terjadi. Mereka sudah mampu berpikir masa akan datang dan mampu menggunakan
simbol untuk sesuatu benda yang belum diketahui.
Menurut Mussen (dalam Desmita, 2009: 105), masa remaja
adalah suatu periode kehidupan di mana kapasitas untuk memperoleh dan
menggunakan pengetahuan secara efisien mencapai puncaknya. Hal ini karena
selama periode remaja ini, proses pertumbuhan otak mencapai kesempurnaan.
Sistem saraf yang berfungsi memproses informasi berkembang dengan cepat. Di
samping itu, pada masa remaja ini juga terjadi reorganisasi lingkaran
saraf prontal lobe (belahan otak bagian depan sampai pada belahan
atau celah sentral).
4. Stimulasi Untuk Meningkatkan Perkembangan Kognitif Pada Anak
Secara
sederhana, perkembangan kognitif terdiri atas dua bidang, yakni
logika-matematika dan sains. Oleh karena itu, cara meningkatkan perkembangan
kognitif pada anak juga berkutat pada dua bidang pelajaran tersebut, yakni
logika-matematika dan sains. Beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk meningkatkan
perkembangan kognitif pada anak (dalam Suyadi, 2010: 92-94).
a.
Meningkatkan kemampuan berpikir logis
Berpikir logis
sangat dibutuhkan anak-anak, karena kemampuan ini dapat mendidik kedisiplinan
yang sangat kuat. Logika berperan besar dalam menjadikan anak-anak semakin
dewasa dengan keputusan-keputusan matangnya. Mengajarkan cara berpikir logis
kepada anak sangat penting dilakukan, karena dewasa atau tidaknya seseorang
ditentukan dari cara berpikir logisnya. Matangnya berpikir logis membuat mereka
tidak akanpernah menyesal atas segala keputusan yang dibuatnya. Sebab,
penyesalan hanyalah tanda ketidakmatangan berpikir logis seseorang.
b.
Menemukan hubungan sebab-akibat
Menemukan hukum sebab akibat
dapat ditempuh dengan membuat hubungan antara dua variabel atau lebih. Dari
hubungan tersebut, dapat diketahui bahwa akibat dari suatu peristiwa ada
sebabnya. Misalnya, penyebab kematian adalah sakit, penyebab kebakaran adalah
arus pendek, dan lain-lain.
Akan tetapi, seringkali
akibat yang sama disebabkan oleh sebab yang berbeda. Contohnya, orang mati atau
meninggal bisa disebabkan karena kecelakaan, kelaparan, keracunan, bunuh diri,
dan sebagainya. Oleh karena itu “sakit” hanyalah bagian kecil dari sekian
banyak penyebab kematian yang ada. Pola-pola berpikir sebab-akibat ini lah yang
harus diajarkan pada anak-anak dengan metode yang tepat dan akurat.
c.
Meningkatkan pengertian pada bilangan
Penting bagi guru dan
orangtua untuk menanamkan rasa cinta kepada matematika sejak dini pada
anak-anak. Sebab, hanya dengan rasa senang bermain angka atau bilangan inilah
anak-anak kelak di masa dewasa akan mudah mempelajari matematika.
Cara termudah untuk
mengajari anak agar mencintai bilangan dan angka adalah dengan uang. Biasanya,
semua orang (termasuk anak-anak) sangat menyukai uang. Bahkan, hampir setiap
hari anak selalu minta uang kepada orang tuanya. Momen ini bisa digunakan untuk
mengajari matematika mereka, minimal menjumlah dan mengurangi.
Dengan bekal kepekaan
terhadap angka dan bilangan anak menjadi lebih mengerti dan cepat dalam
memahami hubungan sebab-akibat. Pemahaman tersebut akan membawa anak pada
pengertian yang lebih cepat terhadap hal-hal yang dirasakan orang dewasa,
seperti perencanaan keuangan di masa dewasa kelak.
5. Implikasi Teori Perkembangan Kognitif Piaget Terhadap Pendidikan
Teori Piaget
ternyata memberikan pengaruh yang sangat besar serta acuan penting dalam
pelaksanaan proses pendidikan di sekolah. Banyak guru mendapatkan inspirasi
dari teori Piaget dalam mendesain kurikulum dan memilih strategi pembelajaran
yang sesuai dengan tingkat perkembangan kognitif peserta didiknya.
Teresa M. McDevitt dan
Jeanne Ellis Ormrod (dalam Desmita, 2009: 111-114) menyebutkan beberapa
implikasi teori Piaget bagi guru-guru di sekolah, yaitu:
a.
Memberikan kesempatan kepada peserta didik melakukan eksperimen terhadap
objek-objek fisik dan fenomena-fenomena alam.
Anak-anak dari semua usia akan banyak mendapat
pelajaran dari hasil eksplorasi dunia nyata. Pada tingkat pra-sekolah,
eksplorasi ini dapat brupa permainan dengan air, pasir, balok-balok kayu, dan
lain-lain. Selama tahun-tahun sekolah dasar, eksplorasi mungkin dilakukan
melalui beberapa aktivitas, seperti melempar dan menagkap bola, menjelajahi
alam, bekerja dengan tanah liat dan cat air, atau membentuk struktur bangunan dengan
menggunakan stik es krim, dan lain-lain.
Demikian juga dengan siswa-siswa menengah, meskipun
telah memiliki kemampuan untuk berpikir abstrak, masih perlu diberi kesempatan
untuk memanipulasi dan melakukan eksperimen dengan benda-benda konkret, seperti
bereksperimen dengan menggunakan alat-alat di laboratorium, kamera dan film,
peralatan memasak dan makanan, atau dengan peralatan tukang kayu.
b.
Mengeksplorasi kemampuan penalaran siswa dengan mengajukan
pertanyaan-pertanyaan atau pemberian tugas-tugas pemecahan masalah.
Dengan memberikan tugas-tugas, baik yang berkaitan
dengan keterampilan berpikir operasional konkret maupun operasional formal
(seperti konservasi, multiklasifikasi, separasi atau mengontrol
variabel-variabel, penalaran proporsional, dan sebagainya), serta dengan
mengobservasi respons siswa terhadap tugas-tugas tersebut, guru akan
mendapatkan pengetahuan yang mendalam tentang bagaimana pemikiran dan penalaran
para siswa. Dengan mengetahui penalaran dan pemikiran para siswa, guru akan
dapat menyusun kurikulum dan materi pengajaran yang sesuai dengan kemampuan
berpikir peserta didik.
c.
Tahap-tahap perkembangan kognitif Piaget menjadi acuan dalam
menginterpretasikan tingkah laku siswa dan mengembangkan rencana pembelajaran.
Menurut Metz (dalam Desmita, 2009: 113) tahap-tahap
perkembangan kognitif Piaget memang tidak selalu akurat dalam mendiskripsikan
kemampuan berpikir logis para siswa, tetapi bagaimanapun tahapan pemikiran dan
proses penalaran siswa pada berbagai tingkat usia. Guru Sekolah Dasar misalnya
akan memahami bahwa siswanya kemungkinan mengalami kesulitan dengan proporsi
(seperti: pecahan atau desimal) dan dengan konsep-konsep abstrak (seperti:
konsep keadilan, kebaikan). Sedangkan bagi guru sekolah menengah tentu akan
lebih mengharapkan siswanya mendiskusikan ide-ide tentang kemajuan hidup
masyarakat meskipun masih berupa pemikiran yang tidak realistis.
d.
Tahap-tahap perkembangan kognitif Piaget juga memberikan petunjuk bagi para
guru dalam memilih strategi pembelajaran yang lebih efektif pada tingkat kelas
yang berbeda.
Pada setiap tingkat perkembangan kognitif, siswa
secara aktif diberi semangat dalam proses pembelajaran. Guru tidak meremehkan
atau terlalu mengunggulkan kemampuan berpikir siswa saat sekarang. Sebaliknya,
siswa pada setiap tingkat didorong untuk secara aktif menggabungkan informasi
yang ada agar sampai ke dalam skema mereka. Untuk itu, mereka harus melakukan
tindakan atas informasi dengan berbagai cara, dan proses pendidikan di sekolah
harus memberi siswa kesempatan untuk memiliki pengalaman atas dunia.
e.
Merancang aktivitas kelompok di mana siswa berbagi pandangan dan
kepercayaan dengan siswa lain.
Piaget percaya kalau belajar mestinya menjadi proses
penemuan aktif dan disesuaikan dengan tahap perkembangan anak. Dalam hal ini, Piaget
melihat adanya nilai pendidikan yang sangat besar di dalam interaksi sosial
dengan teman sebaya.
Menurut Piaget interaksi dengan teman sebaya sangat
membantu anak dalam memahami bahwa orang lain memiliki pandangan dunia yang
berbeda dengan pandangannya sendiri dan ide-ide mereka tidak selalu akurat dan
logis. Oleh sebab itu, interaksi dengan teman sekelas secara khusus meliputi
konflik atau perbedaan pendapat dan yang memungkinkan terjadinya
ketidakseimbangan, tentu akan mendorong anak untuk mengevaluasi kembali
pandangannya saat ini. Artinya, interaksi dengan teman sebaya akan memungkinkan
siswa menguji pemikirannya, merasa tertantang, menerima umpan balik, dan
melihat bagaimana orang lain menyelesaikan masalah.
C. Tugas
1.
Kemukakanlah pengertian perkembangan kognitif menurut Myers.
2.
Kemukakanlah tahap-tahap perkembangan kognitif bayi sampai
remaja menurut Piaget.
3.
Bagaimanakah karakteristik perkembangan kognitif bayi sampai remaja dan
tahap-tahapnya?
4.
Jelaskan implikasi teori perkembangan kognitif menurut Piaget terhadap
pendidikan.
5.
Jelaskan stimulasi untuk meningkatkan perkembangan kognitif pada anak.
DAFTAR RUJUKAN
Desmita. 2009. Psikologi
Perkembangan Peserta Didik. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya
tami, Sri. 2012. Teori
Perkembangan Vygotsky. Susanto, Ahmad. 2012. Perkembangan Anak Usia Dini. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Suyadi. 2010. Psikologi Belajar Paud. Yogyakarta: PT.
Pustaka Intan Madani.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar