KARYA SASTRA
ANGKATAN ’20-AN
Angkatan
’20-an atau Angkatan Balai Pustaka
Disebut Angkatan Dua Puluhan karena novel yang pertama kali terbitadalah novel Azab
dan Sengsara yang diterbitkan pada tahun 1921 oleh Merari siregar.
Disebut pula sebagai Angkatan Balai Pustaka karna karya-karya tersebut banyak
diterbitkan oleh penerbit Balai Pustaka
Ciri-ciri karya sastra pada angkatan ’20-an
1.
Menggambarkan
tema pertentangan paham antara kaum tua dan kaum muda, soal pertentangan adat,
soal kawin paksa, permaduan, dlll.
2.
Soal kebangsaan
belum mengemuka, masih bersifat kedaerahan
3.
Gaya bahasanya
masih menggunakan perumpamaan yang klise, pepatah, peribahasa, tapi menggunakan
bahasa percakapan sehari-hari lain dengan bahasa hikayat sastra lama
4.
Puisinya berupa
syair dan pantun
5.
Isi karya
sastranya bersifat didaktis.
Bunga Rampai Karya Sastra Angkatan 20
Pada paruh pertama abad ke-20, Hindia Belanda mengalami perubahan politik
yang cukup ekstrem, ditandai dengan pergeresan bentuk perjuangan kemerdekaan
yang mulai meninggalkan bentuk-bentuk revolusi fisik. Perjuangan bangsa
bergerak ke bentuk perjuangan intelektual.
Perjuangan tersebut didukung dengan semakin banyaknya rakyat pribumi yang
mengenyam pendidikan, bebas buta huruf, dan membuka mata terhadap pergaulan dunia.
Perkembangan sastra pada dekade ini tampak mengalami kemajuan pesat,
meninggalkan genre sastra lama yang didominasi pantun dan gurindam, cenderung
istana sentris dan patriarkhi.
Seiring dengan perkembangan tersebut, tak bisa dihindari bahwa ruang baru kesusastraan
menyisakan lorong hitam-gelap tempat menjamurnya karya-karya tulis yang rendah
nilai estetika. Karya-karya tersebut, misalnya, adalah tulisan-tulisan cabul,
pornografi, dan tulisan yang dinilai memiliki misi politis.
Angkatan 20 berawal dari sebuah lembaga kebudayaan milik pemerintah
kolonial Belanda, bernama Volkslectuur, atau Balai Pustaka. Kelahirannya
menjadi gairah baru bagi para sastrawan yang kemudian membentuk periode sastra
tersendiri dalam perkembangan sastra Indonesia, dengan ciri yang khas, dan
disebut Angkatan 20 atau Angkatan Balai Pustaka.
Pada era ini, banyak prosa dalam bentuk roman, novel, cerita pendek dan
drama, yang diterbitkan dan menggeser kedudukan syair, pantun, gurindam dan
hikayat. Karya-karya tersebut diterbitkan dalam bahasa Melayu-Tinggi, Jawa dan
Sunda, serta sejumlah kecil dalam bahasa Bali, Batak, dan Madura.
Sastrawan yang menonjol karya-karyanya dari angkatan ini adalah Nur Sutan
Iskandar, sehingga mendapat julukan “Raja Angkatan Balai Pustaka.” Di samping
itu, dominasi sastrawan yang berasal dari Minangkabau dan sebagian Sumatra
memberi ciri yang unik pada karya sastra Angkatan 20.
Tokoh dan Karya pada Angkatan ‘20:
1.
Merari Siregar :
Azab dan Sengsara (1920), Binasa Kerna Gadis Priangan (1931)
2.
Marah Roesli :
Siti Nurbaya (1922), La Hami (1924)
3.
Muhammad Yamin :
Tanah Air (1922), Indonesia, Tumpah Darahku (1928), Ken Arok dan Ken Dedes
(1934)
4.
Tulis Sutan Sati
: Tak Disangka (1923), Tulis Sutan Sati (1928), Tak Tahu Membalas Guna
(1932), Memutuskan Pertalian (1932)
5.
Nur Sutan
Iskandar: Apa Dayaku karena Aku Seorang Perempuan (1923), Salah Pilih (1928),
Karena Mertua (1932), Karena Mertua (1933), Katak Hendak Menjadi Lembu (1935),
Cinta yang Membawa Maut (1926)
6.
Djamaluddin
Adinegoro : Darah muda (1927), Asmara jaya (1928),
7.
Abas Soetan
Pamoentjak : Pertemuan (1927)
8.
Abdul Muis :
Salah Asuhan (1928), pertemuan Jodoh (1933)
9.
Aman Datuk
Madjoindo: Menebus Dosa (1932), Si Cebol Rindukan Bulan (1934),Sampaikan
Salkamku Kepadanya (1935)
R O M A N
Kehadiran dan
keberadaan roman sebenarnya lebih tua daripada novel. Roman (romance) bersal
dari jenis sastra epik dan romansa abad pertengahan. Jenis sastra ini banyak
berkisah tentang hal-hal romantik, penuh dengan angan-angan biasanya bertemakan
kepahlawanan dan percintaan.
1) Dalam
karya ini isinya bercorak romantik sentimental
Penggalan Roman : Siti Nurbaya
karya Marah Rusli
Setelah berhasil
bertemu dengan ayahnya, Samsulbahripun menunggal dunia. namun, sebelum
meninggal dia minta kepada orang tuanya agar dikuburkan di Gunung Padang dekat
dengan kekasihnya Siti Nurbaya. Permintaan itu dikabulkan oleh ayahnya, dia
dikuburkan di Gunung Padang paling dekat
dengan keksihnya Siti Nurbaya. Dan di situlah kedua kekasih ini bertemu
terakhir dan bersama untuk selama-lamanya.
Jelas dalam
kutipan roman Siti Nurbaya ini sangat bercorak romantik sentimental, yang
melukiskan perjuangan cinta Samsulbahri kepada Siti Nurbaya berlebihan, yakni
sampai meninggalpun ia meminta agar dikuburkan dekat dengan kekasihnya Siti
Nurbaya.
(2). Menggambarkan persoalan
kawin paksa.
Di tengah-tengah
musibah tersebut, Datuk Maringgih menagih huk Maringgih.utang kepadanya. Jelas
baginda Sulaiman tidak mampu membayarnya. Dengan alasan hutang tersi Datebut,
Datuk Maringgih langsung menawarkan bagaimana kalau Siti Nurbaya, putri baginda
Sulaiman dijadikan istri Datuk Maringgih. Kalau tawaran ininditerima maka
hutangnya lunas. Dengan terpaksa dan berat hati, akhirnya Siti Nurbaya
diserahkan untuk menjadi istri.
Jelas dalam
kutipan roman Siti Nurbaya sangat menggambarkan kawin paksa, dimana Siti
Nurbaya diserahkan dengan terpaksa dan berat hati untuk diperistri boleh Datuk
Maringgih hanya demi kelunasan seluruh hutang ayahnya.
Pada roman Siti
Nurbaya tidak hanya melukiskan percintaan saja, juga mempersoalkan poligami,
membangga-banggakan kebangsawanan, adat yang sudah tidak sesuai dengan
zamannya, persamaan hak antara wanita dan pria dalam menentukan jodohnya,
anggapan bahwa asal ada uang segala maksud tentu tercapai. Persoalan-persoalan
itulah yang ada di masyarakat.
PUISI
Sebagian besar
angkatan 20 menyukai bentuk puisi lama (syair dan pantun), tetapi golongan muda
sudah tidak menyukai lagi. Golongan muda lebih menginginkan puisi yang
merupakan pancaran jiwanya sehingga mereka mulai menyindirkan nyanyian sukma dan
jeritan jiwa melalui majalah Timbul, majalah PBI, majalah Jong Soematra.
1). Masih banyak berbentuk syair
dan pantun.
Contoh kutipan sajak puisi “
Bukan Beta Bijak Berperi” oleh Rustam Effendi
BUKAN
BETA BIJAK BERPERI
Bukan
beta bijak berperi,
pandai menggubah
madahan syair,
Bukan
beta budak Negeri,
musti
menurut undangan mair,
Sarat-saraf
saya mungkiri,
Untai
rangkaian seloka lama,
beta
buang beta singkiri,
Sebab
laguku menurut sukma.
Dilihat
bentuknya seperti pantun, tetapi dilihat hubungan barisnya berupa syair. Ia
meniadakan tradisi sampiran dalam pantun sehingga sajak itu disebut pantun
modern.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar