Karya Sastra Angkatan 20 an - GUDANG LITERASI

Breaking

Kamis, 10 November 2016

Karya Sastra Angkatan 20 an

KARYA SASTRA ANGKATAN ’20-AN

Angkatan ’20-an atau Angkatan Balai Pustaka
            Disebut Angkatan Dua Puluhan karena novel yang pertama kali terbitadalah novel Azab dan Sengsara yang diterbitkan pada tahun 1921 oleh Merari siregar. Disebut pula sebagai Angkatan Balai Pustaka karna karya-karya tersebut banyak diterbitkan oleh penerbit Balai Pustaka
Ciri-ciri karya sastra pada angkatan ’20-an 
1.           Menggambarkan tema pertentangan paham antara kaum tua dan kaum muda, soal pertentangan adat, soal kawin paksa, permaduan, dlll.
2.           Soal kebangsaan belum mengemuka, masih bersifat kedaerahan
3.           Gaya bahasanya masih menggunakan perumpamaan yang klise, pepatah, peribahasa, tapi menggunakan bahasa percakapan sehari-hari lain dengan bahasa hikayat sastra lama
4.           Puisinya berupa syair dan pantun
5.           Isi karya sastranya bersifat didaktis.

Bunga Rampai Karya Sastra Angkatan 20
Pada paruh pertama abad ke-20, Hindia Belanda mengalami perubahan politik yang cukup ekstrem, ditandai dengan pergeresan bentuk perjuangan kemerdekaan yang mulai meninggalkan bentuk-bentuk revolusi fisik. Perjuangan bangsa bergerak ke bentuk perjuangan intelektual.
Perjuangan tersebut didukung dengan semakin banyaknya rakyat pribumi yang mengenyam pendidikan, bebas buta huruf, dan membuka mata terhadap pergaulan dunia. Perkembangan sastra pada dekade ini tampak mengalami kemajuan pesat, meninggalkan genre sastra lama yang didominasi pantun dan gurindam, cenderung istana sentris dan patriarkhi.
Seiring dengan perkembangan tersebut, tak bisa dihindari bahwa ruang baru kesusastraan menyisakan lorong hitam-gelap tempat menjamurnya karya-karya tulis yang rendah nilai estetika. Karya-karya tersebut, misalnya, adalah tulisan-tulisan cabul, pornografi, dan tulisan yang dinilai memiliki misi politis.
Angkatan 20 berawal dari sebuah lembaga kebudayaan milik pemerintah kolonial Belanda, bernama Volkslectuur, atau Balai Pustaka. Kelahirannya menjadi gairah baru bagi para sastrawan yang kemudian membentuk periode sastra tersendiri dalam perkembangan sastra Indonesia, dengan ciri yang khas, dan disebut Angkatan 20 atau Angkatan Balai Pustaka.
Pada era ini, banyak prosa dalam bentuk roman, novel, cerita pendek dan drama, yang diterbitkan dan menggeser kedudukan syair, pantun, gurindam dan hikayat. Karya-karya tersebut diterbitkan dalam bahasa Melayu-Tinggi, Jawa dan Sunda, serta sejumlah kecil dalam bahasa Bali, Batak, dan Madura.
Sastrawan yang menonjol karya-karyanya dari angkatan ini adalah Nur Sutan Iskandar, sehingga mendapat julukan “Raja Angkatan Balai Pustaka.” Di samping itu, dominasi sastrawan yang berasal dari Minangkabau dan sebagian Sumatra memberi ciri yang unik pada karya sastra Angkatan 20.

Tokoh dan Karya pada Angkatan ‘20:
1.           Merari Siregar : Azab dan Sengsara (1920), Binasa Kerna Gadis Priangan (1931)
2.           Marah Roesli : Siti Nurbaya (1922), La Hami (1924)
3.           Muhammad Yamin : Tanah Air (1922), Indonesia, Tumpah Darahku (1928), Ken Arok dan Ken Dedes (1934)
4.           Tulis Sutan Sati  : Tak Disangka (1923), Tulis Sutan Sati (1928), Tak Tahu Membalas Guna (1932), Memutuskan Pertalian (1932)
5.           Nur Sutan Iskandar: Apa Dayaku karena Aku Seorang Perempuan (1923), Salah Pilih (1928), Karena Mertua (1932), Karena Mertua (1933), Katak Hendak Menjadi Lembu (1935), Cinta yang Membawa Maut (1926)
6.           Djamaluddin Adinegoro : Darah muda (1927), Asmara jaya (1928),
7.           Abas Soetan Pamoentjak : Pertemuan (1927)
8.           Abdul Muis : Salah Asuhan (1928), pertemuan Jodoh (1933)
9.           Aman Datuk Madjoindo: Menebus Dosa (1932), Si Cebol Rindukan Bulan (1934),Sampaikan Salkamku Kepadanya (1935)

    R O M A N
Kehadiran dan keberadaan roman sebenarnya lebih tua daripada novel. Roman (romance) bersal dari jenis sastra epik dan romansa abad pertengahan. Jenis sastra ini banyak berkisah tentang hal-hal romantik, penuh dengan angan-angan biasanya bertemakan kepahlawanan dan percintaan.
1)    Dalam karya ini isinya bercorak romantik sentimental
Penggalan Roman : Siti Nurbaya karya Marah Rusli
Setelah berhasil bertemu dengan ayahnya, Samsulbahripun menunggal dunia. namun, sebelum meninggal dia minta kepada orang tuanya agar dikuburkan di Gunung Padang dekat dengan kekasihnya Siti Nurbaya. Permintaan itu dikabulkan oleh ayahnya, dia dikuburkan  di Gunung Padang paling dekat dengan keksihnya Siti Nurbaya. Dan di situlah kedua kekasih ini bertemu terakhir dan bersama untuk selama-lamanya.
Jelas dalam kutipan roman Siti Nurbaya ini sangat bercorak romantik sentimental, yang melukiskan perjuangan cinta Samsulbahri kepada Siti Nurbaya berlebihan, yakni sampai meninggalpun ia meminta agar dikuburkan dekat dengan kekasihnya Siti Nurbaya.
(2). Menggambarkan persoalan kawin paksa.
Di tengah-tengah musibah tersebut, Datuk Maringgih menagih huk Maringgih.utang kepadanya. Jelas baginda Sulaiman tidak mampu membayarnya. Dengan alasan hutang tersi Datebut, Datuk Maringgih langsung menawarkan bagaimana kalau Siti Nurbaya, putri baginda Sulaiman dijadikan istri Datuk Maringgih. Kalau tawaran ininditerima maka hutangnya lunas. Dengan terpaksa dan berat hati, akhirnya Siti Nurbaya diserahkan untuk menjadi istri.
Jelas dalam kutipan roman Siti Nurbaya sangat menggambarkan kawin paksa, dimana Siti Nurbaya diserahkan dengan terpaksa dan berat hati untuk diperistri boleh Datuk Maringgih hanya demi kelunasan seluruh hutang ayahnya.
Pada roman Siti Nurbaya tidak hanya melukiskan percintaan saja, juga mempersoalkan poligami, membangga-banggakan kebangsawanan, adat yang sudah tidak sesuai dengan zamannya, persamaan hak antara wanita dan pria dalam menentukan jodohnya, anggapan bahwa asal ada uang segala maksud tentu tercapai. Persoalan-persoalan itulah yang ada di masyarakat.
    PUISI
Sebagian besar angkatan 20 menyukai bentuk puisi lama (syair dan pantun), tetapi golongan muda sudah tidak menyukai lagi. Golongan muda lebih menginginkan puisi yang merupakan pancaran jiwanya sehingga mereka mulai menyindirkan nyanyian sukma dan jeritan jiwa melalui majalah Timbul, majalah PBI, majalah Jong Soematra.
1). Masih banyak berbentuk syair dan pantun.
Contoh kutipan sajak puisi “ Bukan Beta Bijak Berperi” oleh Rustam Effendi

BUKAN BETA BIJAK BERPERI
Bukan beta bijak berperi,
pandai menggubah madahan syair,
Bukan beta budak Negeri,
musti menurut undangan mair,
Sarat-saraf saya mungkiri,
Untai rangkaian seloka lama,
beta buang beta singkiri,
Sebab laguku menurut sukma.

Dilihat bentuknya seperti pantun, tetapi dilihat hubungan barisnya berupa syair. Ia meniadakan tradisi sampiran dalam pantun sehingga sajak itu disebut pantun modern.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar