KEBEBASAN PERS di ERA REFORMASI
Perjalanan demokrasi di
Indonesia masih dalam proses untuk mencapai suatu kesempurnan. Wajar apabila
dalam pelaksaannya masih terdapat ketimpangan untuk kepentingan penguasa
semata. Penguasa hanya mementingkan kekuasaan semata, tanpa memikirkan
kebebasan rakyat untuk menentukan sikapnya . Sebenarnya demokrasi sudah muncul
pada zaman pemerintahan presiden Soekarno yang dinamakan model Demokrasi
Terpimpin, lalu berikutnya di zaman pemerintahan Soeharto model demokrasi yang dijalankan
adalah model Demokrasi Pancasila. Namun, alih-alih mempunyai suatu pemerintahan
yang demokratis, model demokrasi yang ditawarkan di dua rezim awal pemerintahan
Indonesia tersebut malah memunculkan pemerintahan yang otoritarian, yang
membelenggu kebebasan politik warganya. Begitu pula kebebasan pers di Indonesia
pada masa pemerintahan Presiden Soekarno dan masa pemerintahan Presiden
Soeharto sangat dibatasi oleh kepentingan pemerintah. Pers dipaksa untuk memuat
setiap berita harus tidak boleh bertentangan dengan pemerintah, di era
pemerintahan Soekarno dan Soeharto, kebebasan pers ada, tetapi lebih terbatas
untuk memperkuat status quo, ketimbang guna membangun keseimbangan antarfungsi
eksekutif, legislatif, yudikatif, dan kontrol publik (termasuk pers).
Karenanya, tidak mengherankan bila kebebasan pers saat itu lebih tampak sebagai
wujud kebebasan (bebasnya) pemerintah, dibanding bebasnya pengelola media dan
konsumen pers, untuk menentukan corak dan arah isi pers Bagi Indonesia sendiri,
pengekangan pemerintah terhadap pers di mulai tahun 1846, yaitu ketika
pemerintah kolonial Belanda mengharuskan adanya surat izin atau sensor atas
penerbitan pers di Batavia, Semarang, dan Surabaya.
Sejak itu pula,
pendapat tentang kebebasan pers terbelah. Satu pihak menolak adanya surat izin
terbit, sensor, dan pembredelan, namun di pihak lain mengatakan bahwa kontrol
terhadap pers perlu dilakukan. Sebagai contoh adanya pembatasan terhadap pers
dengan adanya SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) sesuai dengan Permenpen
01/1984 Pasal 33h. Dengan definisi ”pers yang bebas dan bertanggung jawab”,
SIUPP merupakan lembaga yang menerbitkan pers dan pembredelan. Terjadinya
pembredelan Tempo, Detik, Editor pada 21 Juni 1994, mengisyaratkan
ketidakmampuan sistem hukum pers mengembangkan konsep pers yang bebas dan
bertanggung jawab secara hukum. Ini adalah contoh pers yang otoriter yang di
kembangkan pada rezim orde baru. Tak ada demokrasi tanpa kebebasan berpendapat.
Kebebasan berpendapat
merupakan salah satu hak paling mendasar dalam kehidupan bernegara. Sesuai
Prinsip Hukum dan Demokrasi, bahwa perlindungan hukum dan kepastian hukum dalam
menegakkan hukum perlu ada keterbukaan dan pelibatan peran serta masyarakat.
Untuk itu, kebebasan pers, hak wartawan dalam menjalankan fungsi mencari dan
menyebarkan informasi harus dipenuhi, dihormati, dan dilindungi.
Hal ini sesuai dengan
UUD 45 Pasal 28 tentang kebebasan berserikat, berkumpul dan berpendapat. Suatu
pencerahan datang kepada kebebasan pers, setelah runtuhnya rezim Soeharto pada
tahun 1998. Pada saat itu rakyat menginginkan adanya reformasi pada segala
bidang baik ekonomi, sosial, budaya yang pada masa orde baru terbelenggu.
Tumbuhnya pers pada
masa reformasi merupakan hal yang menguntungkan bagi masyarakat. Kehadiran pers
saat ini dianggap sudah mampu mengisi kekosongan ruang publik yang menjadi
celah antara penguasa dan rakyat. Dalam kerangka ini, pers telah memainkan
peran sentral dengan memasok dan menyebarluaskan informasi yang diperluaskan
untuk penentuan sikap, dan memfasilitasi pembentukan opini publik dalam rangka
mencapai konsensus bersama atau mengontrol kekuasaan penyelenggara negara.
Peran inilah yang selama ini telah dimainkan dengan baik oleh pers Indonesia.
Setidaknya, antusias responden terhadap peran pers dalam mendorong pembentukan
opini publik yang berkaitan dengan persoalan- persoalan bangsa selama ini
mencerminkan keberhasilan tersebut. Setelah reformasi bergulir tahun 1998, pers
Indonesia mengalami perubahan yang luar biasa dalam mengekspresikan kebebasan.
Fenomena itu ditandai dengan munculnya media-media baru cetak dan elektronik
dengan berbagai kemasan dan segmen. Keberanian pers dalam mengkritik penguasa
juga menjadi ciri baru pers Indonesia.
Pada
tanggal 21 Mei 1998 orde baru tumbang dan mulailah era reformasi. Tuntutan
reformasi bergema ke semua sektor kehidupan, termasuk sektor kehidupan pers.
Selama rezim orde lama dan ditambah dengan 32 tahun di bawah rezim orde baru,
pers Indonesia tidak berdaya karena senantiasa ada di bawah bayang-bayang
ancaman pencabutah surat izin terbit.
Sejak masa reformasi tahun 1998,
pers nasional kembali menikmati kebebasan pers. Hal ini sejalan dengan alam
reformasi, keterbukaan, dan demokrasi yang diperjuangkan rakyat Indonesia.
Akibatnya, awal reformasi banyak bermunculan penerbitan pers atau koran,
majalah, atau tabloid baru. Di Era reformasi pemerintah mengeluarkan
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 1999 tentang pers. Hal ini disambut gembira dikalangan pers, karena
tercatat beberapa kemajuan penting dibanding dengan undang-undang sebelumnya,
yaitu Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1982 tentang Pokok-Pokok Pers (UUPP).Dalam
Undang-Undang ini, dengan tegas dijamin adanya kemerdekaan pers sebagai hak
asasi warga negara (pasal 4). Itulah sebabnya mengapa tidak lagi disinggung
perlu tidaknya surat ijin terbit, yaitu terhadap pers nasional tidak dikenakan
penyensoran, pembredelan, dan pelarangan penyiaran sebagaimana tercantum dalam
pasal 4 ayat 2. Dalam
mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai hak
tolak. Tujuannya agar wartawan dapat melindungi sumber informasi, dengan cara
menolak menyebutkan identitas sumber informasi. Hal ini digunakan jika wartawan
dimintai keterangan pejabat penyidik atau dimintai mnejadi saksi di pengadilan.
Pada
masa reformasi, Undang-Undang tentang pers No. 40 1999, maka pers nasional
melaksanakan peranan sebagai berikut:
a. Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui dan mendapatkan informasi.
b. Menegakkan nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum dan hak . asasi manusia, serta menghormati kebhinekaan.
c. Mengembangkan pendapat umum berdasar informasi yang tepat, akurat, dan benar.
d. Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan . dengan kepentingan umum.
e. Memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
a. Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui dan mendapatkan informasi.
b. Menegakkan nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum dan hak . asasi manusia, serta menghormati kebhinekaan.
c. Mengembangkan pendapat umum berdasar informasi yang tepat, akurat, dan benar.
d. Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan . dengan kepentingan umum.
e. Memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
Pers yang bebas
merupakan salah satu komponen yang paling esensial dari masyarakat yang
demokratis, sebagai prasyarat bagi perkembangan sosial dan ekonomi yang baik.
Keseimbangan antara kebebasan pers dengan tanggung jawab sosial menjadi sesuatu
hal yang penting. Hal yang pertama dan utama, perlu dijaga jangan sampai muncul
ada tirani media terhadap publik. Sampai pada konteks ini, publik harus tetap
mendapatkan informasi yang benar, dan bukan benar sekadar menurut media.
Pers diharapkan
memberikan berita harus dengan se- objektif mungkin, hal ini berguna agar tidak
terjadi ketimpangan antara rakyat dengan pemimpinnya mengenai informasi tentang
jalannya pemerintahan. Sungguh ironi, dalam sistem politik yang relatif terbuka
saat ini, pers Indonesia cenderung memperlihatkan performa dan sikap yang
dilematis. Di satu sisi, kebebasan yang diperoleh seiring tumbangnya rezim Orde
Baru membuat media massa Indonesia leluasa mengembangkan isi pemberitaan.
Namun, di sisi lain, kebebasan tersebut juga sering kali tereksploitasi oleh
sebagian industri media untuk mendapatkan keuntungan sebanyak- banyaknya dengan
mengabaikan fungsinya sebagai instrumen pendidik masyarakat. Bukan hanya
sekedar celah antara rakyat dengan pemimpin, tetapi pers diharapkan dapat
memberikan pendidikan untuk masyarakat agar dapat membentuk karakter bangsa
yang bermoral. Kebebasan pers dikeluhkan, digugat dan dikecam banyak pihak
karena berubah menjadi ”kebablasan pers”. Hal itu jelas sekali terlihat pada
media-media yang menyajikan berita politik dan hiburan (seks). Media-media
tersebut cenderung mengumbar berita provokatif, sensasional, ataupun terjebak
mengumbar kecabulan. Ada hal lain yang harus diperhatikan oleh pers, yaitu
dalam membuat informasi jangan melecehkan masalah agama, ras, suku, dan
kebudayaan lain, biarlah hal ini berkembang sesuai dengan apa yang mereka
yakini. Sayangnya, berkembangnya kebebasan pers juga membawa pengaruh pada
masuknya liberalisasi ekonomi dan budaya ke dunia media massa, yang sering kali
mengabaikan unsur pendidikan. Arus liberalisasi yang menerpa pers, menyebabkan
Liberalisasi ekonomi juga makin mengesankan bahwa semua acara atau pemuatan
rubrik di media massa sangat kental dengan upaya komersialisasi. Sosok
idealisme nyaris tidak tercermin dalam tampilan media massa saat ini. Sebagai
dampak dari komersialisasi yang berlebihan dalam media massa saat ini,
eksploitasi terhadap semua hal yang mampu membangkitkan minat orang untuk
menonton atau membaca pun menjadi sajian sehari-hari.
Dampak
positif dari kebebasan pers
a. Dampak positif dari
kebebasan pers yang sekarang berlangsung adalah :
1) Pemberitaan bebas mengulas
suatu masalah Ilmu pengetahuan dan tehnologi serta pengetahuan dan informasi
lainnya sehingga semua orang berhak tahu dan mengerti apa yang sedang terjadi
sekarang ini dari berita ilmu pengetahuan, politik/pemerintah dan lain-lain
yang akan membuat individu menjadi maju cara berfikirnya.
2) Munculnya berbagai bentuk media
masa seperti internet dan lain-lain, hal ini menunjukkan cermin dari
perkembangan teknologi sekarang ini sehingga akan memacu untuk ingin tahu dan
memajukan pola pikir setiap individu yang mengikutinya.
3) Terbitnya berbagai mass media
baik cetak, audio maupun audio visual, ini semua dapat kita lihat munculnya
beberapa stasiun swasta radio, terbitnya majalah redaksi baru dan TV swasta
misalnya majalah Gatra, Majalah terbit dan lain-lain. Hal ini merupakan bukti dari banyaknya kemampuan masyarakat dalam
kemampuan bidang pers serta keinginan untuk membangun
pers.
4) Tiap-tiap individu secara
bebas dapat menyampaikan pendapatnya melalui media masa sehingga membantu dan
memicu tiap individu untuk berkreasi menyampaikan pendapat dengan adanya kolom
kontak pembaca, serta setiap wartawan mengulas suatu masalah yang beraneka ragam
5) Memberikan kesempatan tiap
individu untuk mencoba berani bagi yang ingin mencoba bisnis dalam mass media
terbukti munculnya produksi media baru Terbit, Adil dan lain-lain serta membuka
lapangan pekerjaan.
Dampak
Negatif dari kebebasan pers
b. Dampak
negatif dari kebebasan pers sekarang ini adalah :
1)
Penampilan gambar.
Di era kebebasan pers sekarang ini dibandingkan pada masa orde
baru penampilan gambar lebih berani dan vulgar baik yang bersifat kekerasan
maupun bersifat gambar yang menampilkan kemolekan tubuh manusia khususnya
wanita yang setengah porno maupun porno secara utuh/bulat.
a) Kekerasan.
Gambar kekerasan yang
ditampilkan baik dalam media massa cetak maupun dalam audio visual dalam
menyampaikan berita dengan makin berani dan gamblang misalnya kegiatan
demonstrasi yang brutal dan lain-lain, hal ini akan berpengaruh terhadap
generasi muda dan lebih fatalnya pada anak-anak yang masih mencari jati diri
dan kepribadian sehingga dapat meniru dan tertanam kepada mereka sikap
sadistis, tindakan kriminal dalam kehidupan sehari-hari serta cara penyampaian
pendapat yang radikal apabila tidak terpenuhi hal tersebut semuanya dianggap
suatu yang halal dan menjadi kebiasaan.
b) Setengah porno/porno.
Penampilan gambar setengah
porno dalam media cetak yang menampilkan foto-foto wanita yang berpakaian amat minim dengan pose yang sangat merangsang seperti
pada isi gambar “Tabloit LIPSTIK No. 29 tanggal 23 – 26 Nopember 2001” akan
memicu setiap orang yang kurang kuat imannya untuk berbuat susila. Hal ini lebih parah lagi dengan penampilan dalam internet
menampilkan foto-foto porno baik dari dalam negeri maupun luar negeri pada
internet misal di email www.pondok indah @ yahoo atau www.Artis asia @ Yahoo yang menampilkan
foto artis Indonesia berpose bugil, hal ini dapat merusak generasi muda dan
citra Indonesia serta sangat bertentangan dengan norma kepribadian bangsa
maupun dalam ajaran agama. Apabila anak dibawah umur telah
mengkonsumsi hal ini maka akan menghacurkan generasi muda masa mendatang secara
lebih luas lagi.
2) Pemberitaan tulisan dan
suara. Pemberitaan tulisan dilakukan
melalui tabloit, surat kabar dan majalah serta penyiaran oleh radio swasta
dengan macam penyajian sebagai berikut :
a) Pemberitaan yang beraneka ragam
versi pada kasus yang sama. Pada saat ini tiap media
mempunyai kepentingan masing-masing sehingga dalam isinya tidak mengandalkan isi nyata tetapi mengarah ketujuan tertentu untuk
kepentingan kelompok tertentu atau dalam kepentingan bisnis supaya laku. Dalam
pemberitaan tersebut juga akan membuat pembacanya menjadi bingung terhadap
kejadian yang sama dimuat berbeda oleh mas media lain.
b) Berita yang mengulas suatu
masalah yang belum tentu benar. Hal ini terjadi dengan adanya isu tertentu yang
bersifat samar dan jauh dari kebenaran tetapi sudah diekspos secara
besar-besaran/utama dengan polesan menarik sehingga bersifat luar biasa/
spektakuler. Seperti Berita Harian Serambi Indonesia tanggal 10 September 2001 tentang Jatuhnya Korban TNI penghadangan
di Ulee Pidie Aceh yang jauh dari kenyataan.
c) Berita yang dapat menimbulkan
pemahaman tertentu, menghasut ataupun mengadu domba.Hal ini terjadi terhadap
suatu kasus yang potensial untuk berkembang sara atau menimbulkan emosi
terhadap pembacanya ada beberapa mass media dengan penuh polesan membahas kasus
tersebut tanpa berpikir akan menimbulkan ekses yang berbahaya yang lebih besar
seperti kejadian di Maluku yang dimuat di Tabloit AKSI.
d) Mengkritik tanpa etika. Dalam kehidupan bermasyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang
menjunjung tinggi adat ketimuran dengan tenggang rasanya. Tetapi dengan adanya perkembangan pers yang bebas dalam pengulasan
suatu artikel tentang seseorang ataupun pejabat negara yang berakibat berita
tersebut menjadi spektakuler/heboh maka media tertentu dengan leluasa
melaksanakan ulasannya terkadang hingga tidak mencerminkan adat ketimuran.Hal
ini terjadi juga apabila individu mempunyai kekeliruan/kelalaian serta
melaksanakan tindakan asusila dengan bahasa yang menggiurkan media tertentu
mengulasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar