Pendidikan Multikultural - GUDANG LITERASI

Breaking

Senin, 23 April 2018

Pendidikan Multikultural


Related image


A.      Pengertian Pendidikan Multikultural
Negara Indonesia adalah negara yang memiliki banyak kebudayaan. Dalam menghadapi pluralisme budaya tersebut, diperlukan paradigma baru yang lebih toleran yaitu paradigma pendidikan multikultural. Andersen dan Cusher (dalam Mahfud, 2010:175) mengemukakan bahwa pendidikan multikultural dapat diartikan sebagai pendidikan mengenai keragaman kebudayaan. Sleetr, Grand dan Smith (dalam Zamroni, 2011:144) mendefinisikan pendidikan multilkultural sebagai suatu pendekatan progresif untuk melakukan transformasi pendidikan yang secara holistik memberikan kritik dan menujukkan kelemahan-kelemahan, kegagalan-kegagalan, dan diskriminasi yang terjadi di dunia pendidikan.

3
 
Sedangkan menurut Ma’hady (dalam Mahfud 2010: 176) berpendapat pendidikan multikultural dapat didefinisikan sebagai pendidikan tentang keragaman kebudayaan dalam merespon perubahan demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan (global). Hernandez mengartikan pendidikan multikultural sebagai perspektif yang mengakui realitas politik, sosial, dan ekonomi yang dialami oleh masing-masing individu dalam pertemuan manusia yang kompleks dan beragam secara kultur, dan merefleksikan pentingnya budaya, ras, seksualitas dan gender, etnisitas, agama, status sosial, ekonomi, dan pengecualian-pengecualian dalam proses pendidikan (Mahfud, 2010:176). Atau dengan kata lain, ruang pendidikan sebagai media transformasi ilmu pengetahuan hendaknya mampu memberikan nilai-nilai multikulturalisme dengan cara saling menghargai dan menghormati atas realitas yang beragam, baik latar belakang maupun basis sosial budaya yang melingkupinya.

Pendidikan multikultural adalah pendidikan yang memberikan penekanan terhadap proses penanaman cara hidup yang saling menghormati, tulus, dan toleran terhadap keanekaragaman budaya yang hidup di tengah-tengah masyarakat
dengan tingkat pluralitas yang tinggi (Naim, 2008: 191).
Pendidikan multikultural secara etimologi terdiri dari dua kata yaitu pendidikan dan multikultural. Pendidikan secara umum bermakna sebagai usaha untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi-potensi bawaan baik jasmani maupun rohani sesuai dengan nilai-nilai yang ada di masyarakat. Sedangkan Multikultural secara etimologis multi berarti banyak, beragam dan aneka sedangkan kultural berasal dari kata culture yang mempunyai makna budaya, tradisi ( Liliweri, 2003:7). Rangkaian kata pendidikan dan multikultural memberikan arti secara terminologis adalah usaha mengembangkan seluruh potensi manusia yang menghargai pluralitas dan heterogenitasnya sebagai konsekuensi keragaman budaya, etnis, suku dan aliran (agama).

B.      Latar Belakang Adanya Pendidikan Multikultural
Pendidikan multikultural berawal dari berkembangnya gagasan dan kesadaran tentang interkulturalisme sesudah perang dunia kedua. Mengenai fokus pendidikan multikultural, Tilaar (dalam Mahfud, 2010:178) mengungkapkan bahwa dalam program pendidikan multikultural, fokus tidak lagi diarahkan semata-mata kelompok rasial, agama dan kultural domain. Pendidikan multikultural sebenarnya merupakan sikap peduli dan mau mengerti (difference) atau politics of recognition (politik pengakuan terhadap orang-orang dari kelompok minoritas).
Hal yang melatar belakangi pendidikan multikultur adalah keberadaan masyarakat yang beragam itu sendiri, baik bahasa yang berbeda, kebangsaan, suku, agama, gender,dan kelas sosial. Dengan keragaman tersebut berimplikasi pada keragaman latar belakang peserta didik dalam suatu lembaga pendidikan (Blank,1989:14). Dalam konteks Indonesia peserta didik dilembaga  pendidikan diasumsikan juga terdiri dari peserta didik yang memiliki beragam latar belakang agama,etnik,bahasa dan budaya (kultur). Karena pendidikan ini menghargai heterogenitas dan pluralitas maka yang terpenting adalah tujuan dalam strategi pembelajaranya siswa mudah mempelajari dan memahami sehingga meningkatkan kesadaran agar berperilaku humanis, pluralis, dan demokratis.
Pendidikan dengan pendekatan kebudayaan mengharuskan adanya pendidikan yang multikultural, yaitu pendidikan tentang keragaman kebudayaan dalam merespon perubahan demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan. Selain itu adapula yang berpendapat, bahwa pendidikan multikultural dipersepsikan sebagai suatu jembatan untuk mencapai kehidupan bersama dari umat manusia didalam era globalisasi yang perlu dengan tantangan-tantangan baru.
Pendidikan multikultural yang mempunyai wajah baru, yaitu penghargaan akan kebudayaan dari masing-masing kelompok etnis dipengarui oleh perubahan didalam konsep mengenai arti budaya di dalam kehidupan masyarakat. Proses demokratisasi tersebut dipicu oleh adanya peningkatan terhadap pengakuan akan hak asasi manusia yang tidak membeda-bedakan manusia berdasarkan warna kulit, agama,jenis klamin, status sosial, pekerjaan, dan lain sebagainya. Semua manusia diciptakan Tuhan dengan martabat yang sama tanpa membedakan warna kulit, asal-usul, agama, dan jenis kelamin.  Hal yang melatarbelakangi pendidikan multikultur yaitu :
1.       Adanya kecenderungan yang kuat dari setiap warga negara untuk secara lebih adil dan demokratis dalam bidang pendidikan, sosial, ekonomi, dan lain sebagainya, dengan tidak membedakan latar belakang agama, budaya, etnis dan lain sebagainya.
2.       Pendidikan multikultural muncul sebagai akibat dorongan masyarakat kepada pemerintah untuk menerapkan prinsip-prinsip kehidupan yang lebih berbudaya dan beradab dalam berbagai aspek kehidupan ekonomi, politik, sosial, budaya,dan lain sebagainya. Prinsip-prinsip kehidupan yang lebih berbudaya dan lebih beradab itu antara lain meliputi penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia, keadilan, egaliter, manusiawi, jujur, amanah, toleransi dan persaudaraan.
3.       Pendidikan multikultural muncul karena adanya kecenderungan untuk mengakui pluralisme (keragaman) sebagai sebuah keniscayaan atau realitas yang bersifat alami dan diterima dengan penuh kesadaran. Pendidikan multikultur menghendaki agar setiap negara yang memiliki keragaman penduduk harus diperlakukan secara adil dan demokratis. 
Proses pendidikan tidak hanya diartikan sebagai proses yang terjadi dalam suatu lembaga sekolah, tetapi sekolah sebagai lembaga sosial merupakan bagian dari proses pendidikan sebagai proses pembudayaan. Dengan kata lain pendidikan ada bila ditempatkan pada lingkungan kebudayaan suatu masyarakat, dan inilah prespektif studi kultural mengenai pendidikan.
Untuk mewujudkan masyarakat Indonesia baru yang multikultural maka melalui proses pendidikan itulah akan terwujud, kebenaran ini dapat dilihat dari kondisi sosio kultur maupun geografis yang begitu beragam dan luas, keberagaman dalam beragama etnis, bahasa, budaya, kemampuan, ras  dsb. Pendidikan multikulturalisme adalah pendidikan yang mempertahankan secara sungguh-sungguh  latar belakang peserta didik baik dari aspek keragaman suku (etnis) ras,agama,dan budaya atau( kultur).  Karena pendidikan ini adalah menghargai heterogenitas  dan pluralitas maka yang terpenting adalah tujuan dalam strategi pembelajaranya siswa mudah mempelajari dan mudah memahami sehingga meningkatkan kesadaran agar berperilaku humanis, pluralis, dan demokratis.
Dalam konteks teoritis, belajar dari model-model pendidikan multikultural yang pernah ada dan sedang dikembangkan oleh negara maju, dikenal lima pendekatan yaitu: pertama, pendidikan mengenai perbedaan kebudayaan atau multikulturalisme, kedua pendidikan mengenai perbedaan kebudayaan atau pemahaman kebudayaan, ketiga pendidikan bagi pluralisme kebudayaan, keempat pendidikan dwi budaya, kelima pendidikan multikultural sebagai pengalaman moral manusia.
Konsep pendidikan multikultural, utamanya di negara-negara yang menganut konsep demokratis seperti Amerika Serikat dan Kanada, bukan hal baru lagi. Mereka telah melaksanakannya khususnya dalam upaya melenyapkan diskriminasi rasial antara orang kulit putih dan kulit hitam, yang bertujuan memajukan dan memelihara integritas nasional.  Di Amerika misalnya muncul serangkaian konsep tentang pluralitas yang berbeda-beda mulai daru melting pot sampai kulturalisme. Amerika Serikat ketika ingin membentuk masyarakat baru pasca kemerdekaannya 4 Juli 1776 baru disadari bahwa masyarakatnya terdiri dari berbagai ras da nasal negara yang berbeda. Oleh karena itu, Amerika mencoba mencari terobosan baru yaitu dengan menempuh strategi menjadikan sekolah sebagai pusat sosialisasi dan pembudayaan nilai-nilai baru yang dicita-citakan. Melalui pendekatan inilah, dari SD sampai Perguruan Tinggi, Amerika Serikat berhasil membentuk bangsanya yang dalam perkembangannya melampaui masyarakat induknya yaitu Eropa.
Sedangkan di Indonesia mulai muncul pemikiran pendidikan mutikultural pada tahun 2004, sebagaimana yang diberitakan oleh salah satu media nasional. Gagasan itu dilatarbelakangi oleh beberapa sebab, salah satunya adalah globalisasi. Hal ini karena globalisasi dapat melahirkan peluang, ancaman, dan tantangan bagi kehidupan manusia di berbagai belahan bumi, termasuk Indonesia. Pendidikan multikultural hendaknya dijadikan strategi dalam mengelola kebudayaan dengan menawarkan strategi transformasi budaya yang ampuh yakni melalui mekanisme pendidikan yang menghargai perbedaan budaya.

C.  Dimensi Pendidikan Multikultural
Banks (dalam Mahfud 2010:177) menjelaskan bahwa pendidikan multikultural memiliki lima dimensi yang harus ada dan saling berkaitan satu dengan yang lain, yaitu:


1.   Dimensi Integrasi Isi / Materi (Content Integration)
Yaitu mengintegrasikan berbagai budaya dan kelompok untuk mengilustrasikan konsep mendasar, generalisasi dan teori dalam mata pelajaran/disiplin ilmu yang tujuan utamanya adalah menghapus prasangka. Pada dimensi ini secara khusus, para guru menggabungkan kandungan materi pembelajaran ke dalam kurikulum dengan beberapa cara pandang yang beragam. Contohnya : guru-guru bekerja ke dalam kurikulum mereka dengan membatasi fakta tentang semangat kepahlawanan dari berbagai kelompok. Di samping itu, rancangan pembelajaran dan unit pembelajarannya tidak dirubah. Dengan beberapa pendekatan, guru menambah beberapa unit atau topik secara khusus yang berkaitan dengan materi multikultural.
2.   Dimensi Konstruksi Pengetahuan (The Knowledge Construction Process)
Yaitu membawa siswa untuk memahami implikasi budaya ke dalam sebuah mata pelajaran (disiplin). Pada dimensi ini para guru membantu siswa untuk memahami beberapa perspektif dan merumuskan kesimpulan yang dipengaruhi oleh disiplin pengetahuan yang mereka miliki. Dimensi ini juga berhubungan dengan pemahaman para pelajar terhadap perubahan pengetahuan yang ada pada diri mereka sendiri
3.   Dimensi Pendidikan yang Sama / Adil (An Equity Paedagogy)
Yaitu pendidikan multikultural memberikan ruang dan kesempatan yang sama kepada setiap element yang sama dengan cara menyesuaikan metode pengajaran dengan cara belajar siswa dalam rangka memfasilitasi prestasi akademik siswa yang beragam baik segi ras, budaya (culture) ataupun sosial (social). Strategi dan aktivitas belajar yang dapat digunakan sebagai upaya memperlakukan pendidikan secara adil, antara lain dengan bentuk kerjasama (cooperative learning), dan bukan dengan cara-cara yang kompetitif (competition learning). Dimensi ini juga menyangkut pendidikan yang dirancang untuk membentuk lingkungan sekolah, menjadi banyak jenis kelompok, termasuk kelompok etnik, wanita, dan para pelajar dengan kebutuhan khusus yang akan memberikan pengalaman pendidikan persamaan hak dan persamaan memperoleh kesempatan belajar.
4.   Dimensi Pengurangan Prasangka (Prejudice reduction)
Guru melakukan banyak usaha untuk membantu siswa dalam mengembangkan perilaku positif tentang perbedaan kelompok. Sebagai contoh, ketika anak-anak masuk sekolah dengan perilaku negatif dan memiliki kesalahpahaman terhadap ras atau etnik yang berbeda dan kelompok etnik lainnya, pendidikan dapat membantu siswa mengembangkan perilaku intergroup yang lebih positif, penyediaan kondisi yang mapan dan pasti. Kondisi yang dimaksud adalah bahan pembelajaran yang memiliki citra yang positif tentang perbedaan kelompok dan menggunakan bahan pembelajaran tersebut secara konsisten dan terus-menerus. Penelitian menunjukkan bahwa para pelajar yang datang ke sekolah dengan banyak stereotipe, cenderung berperilaku negatif dan banyak melakukan kesalahpahaman terhadap kelompok etnik. dan ras dari luar kelompoknya. Penelitian juga menunjukkan bahwa penggunaan teksbook multikultural atau bahan pengajaran lain dan strategi pembelajaran yang kooperatif dapat membantu para pelajar untuk mengembangkan perilaku dan persepsi terhadap ras yang lebih positif. Jenis strategi dan bahan dapat menghasilkan pilihan para pelajar untuk lebih bersahabat dengan ras luar, etnik dan kelompok budaya lain
5.    Dimensi Pemberdayaan Budaya Sekolah dan Struktur sosial (Empowering school culture and social culture)
Dimensi ini penting dalam memperdayakan budaya siswa yang dibawa ke sekolah yang berasal dari kelompok yang berbeda. Di samping itu, dapat digunakan untuk menyusun struktur sosial (sekolah) yang memanfaatkan potensi budaya siswa yang beranekaragam sebagai karakteristik struktur sekolah setempat, misalnya berkaitan dengan praktik kelompok, latihan-latihan, partisipasi ekstra kurikuler dan penghargaan staf dalam merespon berbagai perbedaan yang ada di sekolah, melatih kelompok untuk berpartisipasi dalam kegiatan olah raga, berinteraksi dengan seluruh staff dan siswa yang berbeda etnis dan ras dalam upaya menciptakan budaya akademik.

D.      Ciri-ciri Pendidikan Multikulturalisme
Ciri-ciri pendidikan multikulturalisme menurut Mahfud (2010 : 187) antara lain:
1.       Tujuannya membentuk manusia budaya dan menciptakan masyarakat berbudaya (berperadaban). Manusia berbudaya adalah manusia yang memiliki perilaku dan tingkah laku yang berakal budi. Manusia berbudaya juga dapat diartikan sebagai manusia yang dalam kehidupannya berperilaku baik, bermoral, sopan dan santun terhadap sesama manusia atau mahluk ciptaan tuhan. Selain itu, manusia yang berbudaya juga dapat diartikan sebagai manusia yang mampu membuka diri dari pemikirannya yang terbatas. Sedangkan masyarakat berbudaya itu sendiri, dapat terwujud dari manusia-manusianya yang berbudaya.
2.       Materinya mengajarkan nilai-nilai luhur kemanusiaan, nilai-nilai bangsa dan nilai-nilai kelompok etnis (kultural).
3.       Metodenya demokratis, yang menghargai aspek-aspek perbedaan dan keberagaman budaya bangsa dan kelompok etnis (multikulturalis).
4.       Evaluasinya ditentukan pada penilaian terhadap tingkah laku anak didik yang meliputi persepsi , apresiasi, dan tindakan terhadap budaya lainnya.

E.      Pendekatan Pendidikan Multikultural
Ada beberapa pendekatan dalam proses pendidikan multikultural menurut Mahfud (2010 : 191), antara lain :
1.       Tidak lagi menyamakan pandangan pendidikan dengan persekolahan atau pendidikan multikultural dengan program-program sekolah formal
Pandangan yang lebih luas mengenai pendidikan sebagai transmisi kebudayaan membebaskan pendidik dari asumsi keliru bahwa tanggung jawab primer mengembangkan kompetensi kebudayaan di kalangan anak didik semata-mata berada di tangan mereka, tapi justru semakin banyak pihak yang bertanggung jawab karena program-program sekolah seharusnya terkait dengan pembelajaran informal di luar sekolah.
2.       Menghindari pandangan yang menyamakan kebudayaan dengan kelompok etnik
Artinya, melalui pendekatan ini diharapkan program pendidikan multikultural dapat melenyapkan kecenderungan memandang anak didik menurut identitas etnik mereka, tetapi mereka akan meningkatkan eksplorasi pemahaman yang lebih besar mengenai kesamaan dan perbedaan di kalangan anak didik dari berbagai kelompok etnik.
3.   Membutuhkan interaksi inisiatif dengan orang-orang yang sudah memiliki kompetensi
Dapat dilihat bahwa upaya untuk mendukung sekolah-sekolah yang terpisah secara etnik merupakan antithesis terhadap tujuan pendidikan multikultural. Mempertahankan dan memperluas solidaritas kelompok akan menghambat sosialisasi ke dalam kebudayaan baru. 
4.   Pendidikan multikultural meningkatkan kompetensi dalam beberapa kebudayaan
Kebudayaan mana yang akan diadopsi, itu ditentukan oleh situasi dan kondisi secara proporsional.
5.       Kemungkinan bahwa pendidikan (baik formal maupun non formal) meningkatkan kesadaran tentang kompetensi dalam beberapa kebudayaan
Kesadaran seperti ini kemudian akan menjauhkan dari konsep dwi budaya atau dikotomi antara pribumi dan non pribumi.

F.       Metode Pendidikan Multikultural
Sebagai sebuah konsep, maka pendidikan multikuralisme perlu diintegrasikan ke dalam suatu sistem kurikulum, biasanya dalam pendidikan multikultural secara umum digunakan metode yang beragam. Adapun metode yang dapat digunakan dalam pendidikan multikultural menurut Bank (2001: 40) adalah sebagai berikut:

1.     Metode Kontribusi
Karakteristik penting dari pendekatan kontribusi adalah bahwa kurikulum aliran utama tetap tidak berubah dalam struktur dasar, tujuan, dan karakteristik. Ciri pendekatan kontribusi adalah dengan memasukkan pahlawan etnis dan benda-benda budaya yang khas ke dalam kurikulum, yang dipilih dengan menggunakan kriteria budaya aliran utama, elemen budaya yang khas seperti makanan, tari, musik dan benda kelompok etnis dipelajari, namun hanya sedikit memberi perhatian pada makna dan pentingnya budaya khas itu bagi komunitas etnis. Namun metode ini memiliki banyak keterbatasan karena bersifat individual dan perayaan terlihat sebagai sebuah tambahan yang kenyataannya tidak penting pada wilayah subjek inti.
Dalam penerapan metode ini pembelajar diajak berpartisipasi dalam memahami dan mengapresiasi kultur lain. Metode ini antara lain dengan menyertakan pembelajar memilih buku bacaan bersama, melakukan aktivitas bersama, mengapresiasikan kegiatan di bidang keagamaan maupun kebudayaan yang terdapat dalam kehidupan masyarakat.  Contoh lain adalah pendekatan kepahlawanan dan hari libur. Selama perayaan ini, pengajar melibatkan siswa dalam pelajaran, pengalaman, dan pawai sejarah yang berkaitan dengan kelompok etnis yang sedang diperingati.
2.   Metode Pengayaan
Materi pendidikan, konsep, tema dan perspektif bisa ditambahkan dalam kurikulum tanpa harus mengubah struktur aslinya. Metode ini memperkaya kurikulum dengan literatur dari atau tentang masyarakat yang berbeda kultur atau agamanya. Penerapan metode ini, misalnya adalah dengan mengajak pembelajar untuk menilai atau menguji dan kemudian mengapresiasikan cara pandang masyarakat tetapi pembelajar tidak mengubah pemahamannya tentang hal itu, seperti pernikahan, dan lain-lain. Metode ini juga menghadapi problem sama halnya metode kontributif, yakni materi yang dikaji biasanya selalu berdasarkan pada perspektif sejarahwan yang mainstream. Peristiwa, konsep, gagasan dan isu disuguhkan dari perspektif yang dominan.
3.     Metode Transformatif
Metode ini secara fundamental berbeda dengan dua metode sebelumnya. Metode ini memungkinkan pembelajar melihat konsep-konsep dari sejumlah perspektif budaya, etnik dan agama secara kritis. Metode ini memerlukan pemasukan perspektif-perspektif, kerangka- kerangka referensi dan gagasan-gagasan yang akan memperluas pemahaman pembelajar tentang sebuah ide.
Metode ini dapat mengubah struktur kurikulum, dan memberanikan pembelajar untuk memahami isu dan persoalan dari beberapa perspektif etnik dan agama tertentu. Misalnya, membahas konsep “makanan halal” dari agama atau kebudayaan tertentu yang berpotensi menimbulkan konflik dalam masyarakat. Metode ini menuntut pembelajar mengolah pemikiran kritis dan menjadikan prinsip kebhinekaan sebagai premis dasarnya.
4. Metode Pembuatan Keputusan dan Aksi Sosial
Metode ini mengintegrasikan metode transformasi dengan aktivitas nyata dimasyarakat, yang pada gilirannya bisa merangsang terjadinya perubahan sosial. Pembelajar tidak hanya dituntut untuk memahami dan membahas isu-isu sosial, tapi juga melakukan sesuatu yang penting berkaitan dengan hal itu. Metode ini memerlukan pembelajar tidak hanya mengeksplorasi dan memahami dinamika ketertindasan tetapi juga berkomitmen untuk membuat keputusan dan mengubah sistem melalui aksi sosial. Tujuan utama metode ini adalah untuk mengajarkan pembelajar berpikir dan kemampuan mengambil keputusan untuk memberdayakan mereka dan membantu mereka mendapatkan kesadaran dan kemujaraban berpolitik.

G.     Paradigma Pendidikan Multikultural
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang masyarakatnya sangat majemuk atau pluralis. Kemajemukan bangsa Indonesia dapat dilihat dari dua perspektif, yaitu : perspektif vertikal dan horizontal. Dalam perspektif horizontal, kemajemukan bangsa kita dapat dilihat dari perbedaan agama, etnis, bahasa daerah, geografis, pakaian, makanan, dan budayanya. Sementara itu dalam perspektif vertikal, kemajemukan bangsa kita dapat dilihat dari perbedaan tingkat pendidikan, ekonomi, pemukiman, pekerjaan, dan tingkat sosial budaya, Pelly (1994:68).
Kemajemukan masyarakat memberikan dampak positif dan dapat pula menimbulkan dampak negatif. Kemajemukan terkadang justru menimbulkan konflik antar kelompok masyarakat sehingga melahirkan distabilitas keamanan, sosio-ekonomi, dan ketidakharmonisan sosial. Pakar pendidikan, Sairin (dalam Mahfud, 2010 : 185) memetakan akar-akar konflik dalam masyarakat majemuk yaitu : (1) perebutan sumber daya, alat-alat produksi, dan kesempatan ekonomi (acces to economic resource and to means of production), (2) perluasan batas-batas sosial budaya (social and cultural borderline expansion) dan (3) benturan kepentingan politik, ideologi, dan agama (conflict of political, ideology, and religious interest).
Pendidikan berparadigma multikulturalisme penting, sebab akan mengarahkan anak didik untuk bersikap dan berpandangan toleran dan inklusif terhadap realitas masyarakat yang beragam, baik dalam hal budaya, suku, ras, etnis maupun agama (Mahfud, 2010:185). Paradigma ini dimaksudkan bahwa hendaknya apresiatif terhadap budaya orang lain, perbedaan dan keberagaman merupakan kekayaan dan khazanah bangsa. Dengan pandangan tersebut, diharapkan sikap membenarkan pandangan sendiri dengan menyalahkan pandangan dan pilihan orang lain dapat dihilangkan atau diminimalisir.  
Pendidikan multikultural dimaksudkan bahwa manusia dipandang sebagai makhluk makro dan sekaligus makhluk mikro yang tidak akan terlepas dari akar budaya bangsa dan kelompok etnisnya. Akar makro yang kuat akan menyebabkan manusia tidak pernah tercerabut dari akar kemanusiaannya. Sedangkan akar mikro yang kuat akan menyebabkan manusia mempunyai tempat berpijak yang kuat sehingga tidak mudah diombang-ambingkan oleh perubahan yang amat cepat yang menandai kehidupan modern dan pergaulan dunia global.
Menurut Muqtafa (dalam Mahfud, 2010:187) paradigma multikultural yang didengungkan di Indonesia tampaknya masih menjadi sebuah wacana belaka. Sebagai tamsil adalah fenomena dimunculkannya UU kontrovensi Sisdiknas yang sengaja didesakkan kelompok mayoritas. Masih munculnya keinginan sekelompok orang supaya hukum-hukum yang bersumber dari agama yang dipeluknya dilegalisasi masuk ke dalam KUHP tanpa proses objektifikasi.
Masalah ini sungguh memprihatinkan ketika kita menilik kembali latar sosiologis-antropologi bangsa. Dalam realitas-empirik, kenyataan ini justru kerap terabaikan. Yang terjadi seringkali bukannya penghargaan dan pengakuan atas kehadiran yang lain, tetapi upaya untuk mempersamakan atas nama persatuan dan kesatuan.
Sejumlah kebijakan politik yang sangat sentralistik pada masa Orde Baru yang memaksakan ideologi monokulturalisme yang nyaris seragam, seperti developmentalisme dan uniformitas merupakan bukti nyata. Maka tak aneh kalau kemudian monokulturalisme memunculkan reaksi balik dari pihak lawan dan mengandung implikasi-implikasi negatif bagi rekonstruksi kebudayaan Indonesia yang multikultural. Selain itu, konflik antarsuku maupun agama mulai sering bermunculan. Kesatuan dan persatuan yang diidam-idamkan semuanya hanya semu belaka kemudian berganti menjadi kepentingan antarsuku, daerah, rasa tau agama dengan mengesampingkan realitas atau kepentingan yang lain. Bahkan tak jarang suatu kelompok menghalalkan segala cara demi mewujudkan kepentingannya.
Faktor lainnya yang menyebabkan belum terealisasi pendidikan multikultural adalah disebabkan masih dominannya wacana toleransi dalam menyikapi realitas multikultural. Toleransi lebih kepada sikap setiap perbedaan mengakui perbedaan lain demi menguatkan dan mengawetkan perbedaannya sendiri. Untuk itu pengelolaan masyarakat multikultural Indonesia harus diupayakan secara sistematis, progmatis, integrated, dan berkesinambungan. Disinilah fungsi strategis penddikan multikultural sebagai sebuah proses di mana seseorang mengembangkan kompetensi dalam beberapa sistem standar untuk mempersepsi, mengevaluasi, meyakini, dan melakukan tindakan.
Dalam melaksanakan pendidikan multikultural mesti dikembangkan prinsip solidaritas. Yakni kesiapan untuk berjuang dan bergabung dalam perlawanan demi pegakuan perbedaan yang lain bukan demi dirinya sendiri. Solidaritas menuntut agar melupakan upaya-upaya penguatan identitas, melainkan menuntut agar berjuang demi dan bersama yang lain. Dengan demikian, kehidupan multikultural yang dilandasi kesadaran akan eksistensi diri tanpa merendahkan yang lain diharapkan segera terwujud.

H.      Pengertian Pendidikan Berbasis Multikultural
Hernandez dalam (Mahfud, 2010:196), mengungkapkan dua definisi klasik untuk menekankan dimensi konseptual MBE yang penting bagi pendidik. Definisi pertama menekankan esensi MBE sebagai perspektif yang mengakui realitas politik, sosial, ekonomi yang dialami oleh masing-masing individu dalam pertemuan manusia yang kompleks dan beragam (plural) secara kultur. Definisi ini juga bermaksud merefleksikan pentingnya budaya, ras, gender, etnisitas, agama, status sosial, ekonomi, dan pengecualian-pengecualian dalam proses pendidikan.
Dalam satu dekade, Hernandez (dalam Mahfud, 2010:197) mengembangkan sebuah definisi operasional tentang MBE. Dalam konseptualisasinya, MBE adalah sebuah kegiatan pendidikan yang bersifat empowering. Oleh karenanya, MBE, menurut Hernandez, adalah sebuah visi tentang pendidikan yang selayaknya dan seharusnya bisa untuk semua anak didik.
Berkaitan dengan anak didik, MBE mempersoalkan tentang etnisitas, gender, kelas, bahasa, agama, dan perkecualian yang mempengaruhi, membentuk, dan mempola tiap-tiap individu sebagai makhluk budaya. MBE adalah hasil perkembangan seutuhnya dari interaksi unik masing-masing individu yang memiliki kecerdasan, kemampuan, dan bakat. MBE mempersiapkan anak didik bagi kewarganegaraan dalam komunitas budaya dan bahasa yang majemuk dan saling berkait.
MBE juga berkenaan dengan perubahan pendidikan yang signifikan. Ia menggambarkan realitas budaya, politik, sosial, ekonomi yang kompleks, yang secara luas dan sistematis mempengaruhi segala sesuatu yang terjadi di dalam sekolah dan luar ruangan yang menyangkut seluruh aset pendidikan yang termanifestasikan melalui konteks, proses dan muatan. MBE menegaskan dan memperluas kembali praktik yang patut dicontoh, dan berupaya memperbaiki berbagai kesempatan pendidikan optimal yang tertolak. Ia memperbincangkan seputar penciptaan lembaga-lembaga pendidikan yang menyediakan lingkungan pembelajaran yang dinamis, yang mencerminkan cita-cita persamaan, kesetaraan, dan keunggulan.

I.    Wacana Pendidikan Multikultural di Indonesia
Wacana pendidikan multikultural di Indonesia belum tuntas dikaji oleh berbagai kalangan, termasuk para pakar dan pemerhati pendidikan sekalipun. Di Indonesia, pendidikan multikultural relatif baru dikenal sebagai suatu pendekatan yang dianggap lebih sesuai bagi masyarakat Indonesia yang heterogen, plural. Terlebih pada masa otonomi dan desentralisasi yang baru diberlakukan sejak 1999 hingga saat ini. Pendidikan multikultural yang dikembangkan di Indonesia sejalan dengan pengembangan demokrasi yang dijalankan sebagai counter terhadap kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah (otoda). Apabila hal itu dilaksanakan dengan tidak berhati-hati, justru mungkin akan menjerumuskan kita ke dalam perpecahan nasional (disintegrasi bangsa dan separatisme).
Menurut Azra (dalam Mahfud, 2010:198), pada level nasional, berakhirnya sentralisme kekuasaan yang pada masa Orde Baru memaksakan “monokulturalisme” yang nyaris seragam, memunculkan reaksi balik, yang mengandung implikasi negative bagi rekonstruksi kebudayaan Indonesia yang multicultural. Bersamaan dengan proses otonomisasi dan desentralisasi kekuasaan pemerintahan, juga terjadi peningkatan fenomena/ gejala “provinsialisme” yang hampir tumpang tindih dengan “etnisitas”. Kecenderungan ini, jika tidak terkendali, akan dapat menimbulkan tidak hanya disintegrasi sosio-kultural yang amat parah, bahkan juga disintegrasi politik.
Model pendidikan di Indonesia, juga di negara-negara lain, menunjukkan keragaman tujuan yang menerapkan strategi dan sarana yang dipakai untuk mencapainya. Sejumlah kritikus melihat, bahwa revisi kurikulum sekolah yang dilakukan dalam proses pendidikan multicultural di Inggris dan beberapa tempat di Australia dan Kanada, terbatas pada keragaman budaya yang ada; jadi, terbatas pada dimensi kognitif.
Penambahan informasi tentang keragaman budaya merupakan model pendidikan multicultural yang mencakup revisi atau materi pembelajaran, termasuk revisi buku-buku teks. Terlepas dari kritik atas penerapannya di beberapa tempat, revisi pembelajaran seperti yang terjadi di Amerika Serikat merupakan strategi yang dianggap paling penting dalam reformasi pendidikan dan kurikulum. Penulisan kembali sejarah Amerika dari perspektif yang lebih beragam merupakan suatu agenda pendidikan yang diperjuangkan intelektual, aktivis dan praktisi pendidikan .
Di Jepang, aktivis kemanusiaan melakukan advokasi serius untuk merevisi buku sejarah, terutama yang menyangkut peran Jepang pada Perang Dunia II di Asia. Walaupun belum diterima, usaha ini sudah mulai membuka mata sebagai masyarakat akan pentingnya perspektif baru tentang perang, agar tragedi kemanusiaan tidak terulang kembali. Sementara, di Indonesia masih diperlukan usaha yang panjang dalam merevisi buku-buku teks agar mengakomodasi kontribusi dalam pertisipasi yang lebih inklusif bagi warga dari berbagai latar belakang suku, agama, budaya dan etnis. Di Indonesia juga memerlukan materi pembelajaran yang bisa mengatasi “dendam sejarah” di berbagai wilayah.
Model lainnya, pendidikan multicultural tidak sekedar merevisi materi pembelajaraan, tetapi juga melakukan reformasi dalam system pembelajaran itu sendiri. Affirmative Action dalam seleksi siswa sampai rekrutmen tenaga pengajar di Amerika adalah salah satu strategi untuk membuat perbaikan ketimpang struktural terhadap kelompok minoritas. Contoh yang lain adalah model “sekolah pembauran” Iskandar Muda di Medan yang memfasilitasi interaksi siswa dari berbagai latar belakang budaya dan menyusun program anak asuh lintas kelompok. Di Amerika Serikat, bersamaan dengan masuknya wacana tentang multikulturalisme, dilakukan berbagai lokakarya di sekolah-sekolah maupun di masyarakat luas untuk meningkatkan kepekaan social ( sense of crisis ), toleransi dan mengurangi prasangka antarkelompok.
Untuk mewujudkan model-model tersebut, pendidikan multikultural di Indonesia perlu memakai kombinasi model yang ada, agar, seperti yang diajukan Gorski (dalam Mahfud, 2010:200), pendidikan multikultural dapat mencakup tiga jenis transformasi: ( 1 ) transformasi diri; ( 2 ) transformasi sekolah dan proses belajar mengajar, dan ( 3 ) transformasi masyarakat.
Selain itu, wacana pendidikan multikultural dimungkinkan akan terus berkembang seperti bola salju ( snow ball ) yang menggelinding semakin membesar dan ramai diperbincangkan. Dan yang lebih penting dan kita harapkan adalah, wacana pendidikan multicultural akan dapat diberlakukan dalam dunia pendidikan di negeri yang multikultural ini. Apakah nantinya terwujud dalam kurikulum, materi, dan metode, ataukah dalam wujud yang lainnya.
Untuk pelaksanaan pendidikan multikultural di Indonesia pada saat ini, model kurikulum yang digunakan adalah menggunakan model tematik. Dalam model pembelajaran tematik ini peserta didik dan guru dapat memilih tema-tema mana yang dapat dikembangkan sesuai dengan kondisi multikultural yang ada di Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar