A. Pengertian
Pendidikan Multikultural
Negara Indonesia adalah negara yang
memiliki banyak kebudayaan. Dalam menghadapi pluralisme budaya tersebut,
diperlukan paradigma baru yang lebih toleran yaitu paradigma pendidikan multikultural.
Andersen dan Cusher (dalam Mahfud,
2010:175) mengemukakan bahwa pendidikan
multikultural dapat diartikan sebagai pendidikan mengenai keragaman kebudayaan.
Sleetr, Grand dan Smith (dalam Zamroni, 2011:144) mendefinisikan pendidikan
multilkultural sebagai suatu pendekatan progresif untuk melakukan transformasi
pendidikan yang secara holistik memberikan kritik dan menujukkan
kelemahan-kelemahan, kegagalan-kegagalan, dan diskriminasi yang terjadi di
dunia pendidikan.
|
Sedangkan menurut Ma’hady (dalam Mahfud
2010: 176) berpendapat pendidikan multikultural dapat didefinisikan sebagai
pendidikan tentang keragaman kebudayaan dalam merespon perubahan demografis dan
kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan
(global). Hernandez mengartikan pendidikan multikultural sebagai perspektif
yang mengakui realitas politik, sosial, dan ekonomi yang dialami oleh
masing-masing individu dalam pertemuan manusia yang kompleks dan beragam secara
kultur, dan merefleksikan pentingnya budaya, ras, seksualitas dan gender,
etnisitas, agama, status sosial, ekonomi, dan pengecualian-pengecualian dalam
proses pendidikan (Mahfud, 2010:176). Atau dengan kata lain, ruang pendidikan
sebagai media transformasi ilmu pengetahuan hendaknya mampu memberikan
nilai-nilai multikulturalisme dengan cara saling menghargai dan menghormati
atas realitas yang beragam, baik latar belakang maupun basis sosial budaya yang
melingkupinya.
Pendidikan multikultural adalah pendidikan yang
memberikan penekanan terhadap proses
penanaman cara hidup yang saling menghormati, tulus, dan toleran terhadap
keanekaragaman budaya yang hidup di tengah-tengah masyarakat
dengan tingkat
pluralitas yang tinggi (Naim, 2008: 191).
Pendidikan multikultural secara
etimologi terdiri dari dua kata yaitu pendidikan dan multikultural. Pendidikan
secara umum bermakna sebagai usaha untuk menumbuhkan dan mengembangkan
potensi-potensi bawaan baik jasmani maupun rohani sesuai dengan nilai-nilai
yang ada di masyarakat. Sedangkan Multikultural secara etimologis multi berarti banyak, beragam
dan aneka sedangkan kultural berasal dari kata culture yang mempunyai makna
budaya, tradisi ( Liliweri,
2003:7). Rangkaian kata pendidikan dan multikultural
memberikan arti secara terminologis adalah usaha
mengembangkan seluruh potensi manusia yang menghargai pluralitas dan
heterogenitasnya sebagai konsekuensi
keragaman budaya,
etnis, suku dan aliran (agama).
B. Latar
Belakang Adanya Pendidikan Multikultural
Pendidikan multikultural berawal
dari berkembangnya gagasan dan kesadaran tentang interkulturalisme sesudah
perang dunia kedua. Mengenai fokus pendidikan multikultural, Tilaar (dalam
Mahfud, 2010:178)
mengungkapkan bahwa dalam program pendidikan multikultural, fokus tidak lagi
diarahkan semata-mata kelompok rasial, agama dan kultural domain. Pendidikan
multikultural sebenarnya merupakan sikap peduli dan mau mengerti (difference)
atau politics of recognition (politik pengakuan terhadap orang-orang
dari kelompok minoritas).
Hal
yang melatar belakangi pendidikan multikultur adalah keberadaan masyarakat yang
beragam itu sendiri, baik bahasa yang berbeda, kebangsaan, suku, agama, gender,dan kelas sosial. Dengan
keragaman tersebut berimplikasi pada keragaman latar belakang peserta didik
dalam suatu lembaga pendidikan (Blank,1989:14). Dalam konteks Indonesia peserta didik
dilembaga pendidikan diasumsikan juga terdiri dari peserta didik yang
memiliki beragam latar belakang agama,etnik,bahasa dan budaya (kultur). Karena
pendidikan ini menghargai heterogenitas dan pluralitas maka yang terpenting
adalah tujuan dalam strategi pembelajaranya siswa mudah mempelajari dan
memahami sehingga meningkatkan kesadaran agar berperilaku humanis, pluralis,
dan demokratis.
Pendidikan
dengan pendekatan kebudayaan mengharuskan adanya pendidikan yang multikultural,
yaitu pendidikan tentang keragaman kebudayaan dalam merespon perubahan
demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara
keseluruhan. Selain itu adapula yang berpendapat, bahwa pendidikan
multikultural dipersepsikan sebagai suatu jembatan untuk mencapai kehidupan
bersama dari umat manusia didalam era globalisasi yang perlu dengan
tantangan-tantangan baru.
Pendidikan
multikultural yang mempunyai wajah baru, yaitu penghargaan akan kebudayaan dari
masing-masing kelompok etnis dipengarui oleh perubahan didalam konsep mengenai
arti budaya di dalam kehidupan masyarakat. Proses demokratisasi tersebut dipicu
oleh adanya peningkatan terhadap pengakuan akan hak asasi manusia yang tidak
membeda-bedakan manusia berdasarkan warna kulit, agama,jenis klamin, status
sosial, pekerjaan, dan lain sebagainya. Semua manusia diciptakan Tuhan dengan
martabat yang sama tanpa membedakan warna kulit, asal-usul, agama, dan jenis
kelamin. Hal yang melatarbelakangi pendidikan multikultur yaitu :
1. Adanya kecenderungan yang kuat dari
setiap warga negara untuk secara lebih adil dan demokratis dalam bidang
pendidikan, sosial, ekonomi, dan lain sebagainya, dengan tidak membedakan latar
belakang agama, budaya, etnis dan lain sebagainya.
2. Pendidikan multikultural muncul
sebagai akibat dorongan masyarakat kepada pemerintah untuk menerapkan prinsip-prinsip
kehidupan yang lebih berbudaya dan beradab dalam berbagai aspek kehidupan
ekonomi, politik, sosial, budaya,dan lain sebagainya. Prinsip-prinsip kehidupan
yang lebih berbudaya dan lebih beradab itu antara lain meliputi penghargaan
terhadap hak-hak asasi manusia, keadilan, egaliter, manusiawi, jujur, amanah,
toleransi dan persaudaraan.
3. Pendidikan multikultural muncul
karena adanya kecenderungan untuk mengakui pluralisme (keragaman) sebagai
sebuah keniscayaan atau realitas yang bersifat alami dan diterima dengan penuh
kesadaran. Pendidikan multikultur menghendaki agar setiap negara yang memiliki
keragaman penduduk harus diperlakukan secara adil dan demokratis.
Proses
pendidikan tidak hanya diartikan sebagai proses yang terjadi dalam
suatu lembaga sekolah, tetapi sekolah sebagai lembaga sosial merupakan bagian
dari proses pendidikan sebagai proses pembudayaan. Dengan kata lain pendidikan
ada bila ditempatkan pada lingkungan kebudayaan suatu masyarakat, dan inilah
prespektif studi kultural mengenai pendidikan.
Untuk
mewujudkan masyarakat Indonesia baru yang multikultural maka melalui proses
pendidikan itulah akan terwujud, kebenaran ini dapat dilihat dari kondisi sosio
kultur maupun geografis yang begitu beragam dan luas, keberagaman dalam
beragama etnis, bahasa, budaya, kemampuan, ras dsb. Pendidikan
multikulturalisme adalah pendidikan yang mempertahankan secara sungguh-sungguh
latar belakang peserta didik baik dari aspek keragaman suku (etnis)
ras,agama,dan budaya atau( kultur). Karena pendidikan ini adalah
menghargai heterogenitas dan pluralitas maka yang terpenting adalah
tujuan dalam strategi pembelajaranya siswa mudah mempelajari dan mudah memahami
sehingga meningkatkan kesadaran agar berperilaku humanis, pluralis, dan
demokratis.
Dalam konteks teoritis, belajar
dari model-model pendidikan multikultural yang pernah ada dan sedang
dikembangkan oleh negara maju, dikenal lima pendekatan yaitu: pertama, pendidikan
mengenai perbedaan kebudayaan atau multikulturalisme, kedua pendidikan mengenai
perbedaan kebudayaan atau pemahaman kebudayaan, ketiga pendidikan bagi
pluralisme kebudayaan, keempat pendidikan dwi budaya, kelima pendidikan
multikultural sebagai pengalaman moral manusia.
Konsep pendidikan multikultural,
utamanya di negara-negara yang menganut konsep demokratis seperti Amerika
Serikat dan Kanada, bukan hal baru lagi. Mereka telah melaksanakannya khususnya
dalam upaya melenyapkan diskriminasi rasial antara orang kulit putih dan kulit
hitam, yang bertujuan memajukan dan memelihara integritas nasional. Di Amerika misalnya muncul serangkaian konsep
tentang pluralitas yang berbeda-beda mulai daru melting pot sampai
kulturalisme. Amerika Serikat ketika ingin membentuk masyarakat baru pasca
kemerdekaannya 4 Juli 1776 baru disadari bahwa masyarakatnya terdiri dari
berbagai ras da nasal negara yang berbeda. Oleh karena itu, Amerika mencoba
mencari terobosan baru yaitu dengan menempuh strategi menjadikan sekolah
sebagai pusat sosialisasi dan pembudayaan nilai-nilai baru yang dicita-citakan.
Melalui pendekatan inilah, dari SD sampai Perguruan Tinggi, Amerika Serikat
berhasil membentuk bangsanya yang dalam perkembangannya melampaui masyarakat
induknya yaitu Eropa.
Sedangkan di Indonesia mulai muncul
pemikiran pendidikan mutikultural pada tahun 2004, sebagaimana yang diberitakan
oleh salah satu media nasional. Gagasan itu dilatarbelakangi oleh beberapa
sebab, salah satunya adalah globalisasi. Hal ini karena globalisasi dapat
melahirkan peluang, ancaman, dan tantangan bagi kehidupan manusia di berbagai
belahan bumi, termasuk Indonesia. Pendidikan multikultural hendaknya dijadikan
strategi dalam mengelola kebudayaan dengan menawarkan strategi transformasi
budaya yang ampuh yakni melalui mekanisme pendidikan yang menghargai perbedaan
budaya.
C.
Dimensi Pendidikan Multikultural
Banks
(dalam Mahfud 2010:177) menjelaskan bahwa pendidikan multikultural memiliki lima dimensi yang harus ada dan saling berkaitan satu dengan yang lain,
yaitu:
1.
Dimensi Integrasi Isi / Materi
(Content
Integration)
Yaitu mengintegrasikan
berbagai budaya dan kelompok untuk mengilustrasikan konsep mendasar,
generalisasi dan teori dalam mata pelajaran/disiplin ilmu yang tujuan
utamanya adalah menghapus prasangka. Pada dimensi ini secara
khusus, para guru menggabungkan kandungan
materi pembelajaran ke dalam kurikulum dengan beberapa cara pandang
yang beragam. Contohnya : guru-guru bekerja ke dalam
kurikulum mereka dengan membatasi fakta tentang semangat kepahlawanan dari
berbagai kelompok. Di samping itu, rancangan pembelajaran dan unit
pembelajarannya tidak dirubah. Dengan beberapa pendekatan, guru menambah
beberapa unit atau topik secara khusus yang berkaitan dengan materi
multikultural.
2.
Dimensi Konstruksi Pengetahuan (The
Knowledge Construction Process)
Yaitu membawa siswa
untuk memahami implikasi budaya ke dalam sebuah mata pelajaran (disiplin). Pada dimensi ini para guru membantu
siswa untuk memahami beberapa
perspektif dan merumuskan kesimpulan yang dipengaruhi oleh
disiplin pengetahuan yang mereka miliki. Dimensi ini juga berhubungan
dengan pemahaman para pelajar
terhadap perubahan pengetahuan yang ada pada diri mereka sendiri
3.
Dimensi Pendidikan yang Sama /
Adil (An
Equity Paedagogy)
Yaitu pendidikan multikultural memberikan ruang dan kesempatan yang sama kepada setiap element
yang sama dengan cara menyesuaikan
metode pengajaran dengan cara belajar siswa dalam rangka memfasilitasi prestasi
akademik siswa yang beragam
baik segi ras, budaya (culture) ataupun sosial (social). Strategi
dan aktivitas belajar yang dapat digunakan sebagai upaya memperlakukan
pendidikan secara adil, antara lain dengan bentuk kerjasama (cooperative
learning), dan bukan dengan cara-cara yang
kompetitif (competition learning).
Dimensi ini juga menyangkut pendidikan yang dirancang untuk membentuk
lingkungan sekolah, menjadi banyak jenis kelompok, termasuk kelompok etnik,
wanita, dan para pelajar dengan kebutuhan khusus yang akan memberikan
pengalaman pendidikan persamaan hak dan persamaan memperoleh kesempatan
belajar.
4.
Dimensi Pengurangan Prasangka (Prejudice
reduction)
Guru melakukan banyak usaha
untuk membantu siswa dalam mengembangkan
perilaku positif tentang perbedaan kelompok.
Sebagai contoh, ketika anak-anak masuk
sekolah dengan perilaku negatif dan memiliki kesalahpahaman terhadap
ras atau etnik yang berbeda dan kelompok etnik lainnya,
pendidikan dapat membantu siswa mengembangkan perilaku
intergroup yang lebih positif,
penyediaan kondisi yang mapan dan pasti. Kondisi
yang dimaksud adalah bahan pembelajaran yang
memiliki citra yang positif tentang perbedaan
kelompok dan menggunakan bahan pembelajaran tersebut
secara konsisten dan terus-menerus. Penelitian menunjukkan
bahwa para pelajar yang datang ke sekolah dengan
banyak stereotipe, cenderung berperilaku negatif dan banyak
melakukan kesalahpahaman terhadap kelompok etnik. dan ras
dari luar kelompoknya. Penelitian juga
menunjukkan bahwa
penggunaan teksbook multikultural atau bahan pengajaran lain dan
strategi pembelajaran yang kooperatif dapat membantu para pelajar untuk mengembangkan perilaku dan persepsi terhadap
ras yang lebih positif. Jenis strategi dan bahan dapat
menghasilkan pilihan para pelajar untuk lebih bersahabat dengan ras
luar, etnik dan kelompok budaya lain
5.
Dimensi Pemberdayaan
Budaya Sekolah dan Struktur sosial (Empowering school culture and social culture)
Dimensi
ini penting dalam
memperdayakan budaya siswa yang dibawa ke sekolah yang berasal dari
kelompok yang berbeda. Di samping itu, dapat digunakan untuk menyusun struktur
sosial (sekolah) yang
memanfaatkan potensi
budaya siswa yang beranekaragam sebagai
karakteristik struktur sekolah
setempat, misalnya berkaitan
dengan praktik kelompok, latihan-latihan,
partisipasi ekstra kurikuler dan penghargaan staf dalam merespon berbagai
perbedaan yang ada di sekolah, melatih kelompok untuk
berpartisipasi dalam kegiatan olah raga, berinteraksi dengan seluruh staff dan
siswa yang berbeda etnis dan ras dalam upaya menciptakan budaya akademik.
D. Ciri-ciri Pendidikan Multikulturalisme
Ciri-ciri pendidikan
multikulturalisme menurut Mahfud (2010 : 187) antara lain:
1. Tujuannya
membentuk manusia budaya dan menciptakan masyarakat berbudaya (berperadaban). Manusia berbudaya
adalah manusia yang memiliki perilaku dan tingkah laku yang berakal budi. Manusia berbudaya juga
dapat diartikan sebagai manusia yang dalam kehidupannya berperilaku baik, bermoral, sopan
dan santun terhadap sesama manusia atau mahluk ciptaan tuhan. Selain itu, manusia yang berbudaya juga dapat diartikan sebagai manusia yang mampu
membuka diri dari pemikirannya yang
terbatas. Sedangkan masyarakat berbudaya
itu sendiri, dapat terwujud dari manusia-manusianya yang berbudaya.
2. Materinya
mengajarkan nilai-nilai luhur kemanusiaan, nilai-nilai bangsa dan nilai-nilai kelompok
etnis (kultural).
3. Metodenya
demokratis, yang menghargai aspek-aspek perbedaan dan keberagaman budaya bangsa
dan kelompok etnis (multikulturalis).
4. Evaluasinya
ditentukan pada penilaian terhadap tingkah laku anak didik yang meliputi
persepsi ,
apresiasi, dan tindakan terhadap budaya lainnya.
E. Pendekatan
Pendidikan Multikultural
Ada beberapa pendekatan dalam
proses pendidikan multikultural menurut Mahfud (2010 : 191), antara lain :
1. Tidak
lagi menyamakan pandangan pendidikan dengan persekolahan atau pendidikan
multikultural dengan program-program sekolah formal
Pandangan yang lebih luas mengenai
pendidikan sebagai transmisi kebudayaan membebaskan pendidik dari asumsi keliru
bahwa tanggung jawab primer mengembangkan kompetensi kebudayaan di kalangan
anak didik semata-mata berada di tangan mereka, tapi justru semakin banyak
pihak yang bertanggung jawab karena program-program sekolah seharusnya terkait
dengan pembelajaran informal di luar sekolah.
2. Menghindari
pandangan yang menyamakan kebudayaan dengan kelompok etnik
Artinya, melalui pendekatan ini
diharapkan program pendidikan multikultural dapat melenyapkan kecenderungan
memandang anak didik menurut identitas etnik mereka, tetapi mereka akan
meningkatkan eksplorasi pemahaman yang lebih besar mengenai kesamaan dan
perbedaan di kalangan anak didik dari berbagai kelompok etnik.
3. Membutuhkan
interaksi inisiatif dengan orang-orang yang sudah memiliki kompetensi
Dapat dilihat bahwa upaya untuk mendukung
sekolah-sekolah yang terpisah secara etnik merupakan antithesis terhadap tujuan
pendidikan multikultural. Mempertahankan dan memperluas solidaritas kelompok
akan menghambat sosialisasi ke dalam kebudayaan baru.
4. Pendidikan
multikultural meningkatkan kompetensi dalam beberapa kebudayaan
Kebudayaan mana yang akan diadopsi,
itu ditentukan oleh situasi dan kondisi secara proporsional.
5. Kemungkinan
bahwa pendidikan (baik formal maupun non formal) meningkatkan kesadaran tentang
kompetensi dalam beberapa kebudayaan
Kesadaran seperti ini kemudian akan
menjauhkan dari konsep dwi budaya atau dikotomi antara pribumi dan non pribumi.
F.
Metode
Pendidikan Multikultural
Sebagai sebuah konsep, maka pendidikan multikuralisme perlu
diintegrasikan ke dalam suatu sistem kurikulum, biasanya dalam pendidikan
multikultural secara umum digunakan metode yang beragam. Adapun metode yang
dapat digunakan dalam pendidikan multikultural menurut Bank (2001: 40) adalah
sebagai berikut:
1. Metode
Kontribusi
Karakteristik penting dari pendekatan kontribusi adalah bahwa
kurikulum aliran utama tetap tidak berubah dalam struktur dasar, tujuan, dan
karakteristik. Ciri pendekatan
kontribusi adalah dengan memasukkan pahlawan etnis dan benda-benda budaya yang
khas ke dalam kurikulum, yang dipilih dengan menggunakan kriteria budaya aliran
utama, elemen budaya yang khas seperti makanan, tari, musik dan benda kelompok
etnis dipelajari, namun hanya sedikit memberi perhatian pada makna dan pentingnya
budaya khas itu bagi komunitas etnis. Namun metode ini memiliki banyak
keterbatasan karena bersifat individual dan perayaan terlihat sebagai sebuah
tambahan yang kenyataannya tidak penting pada wilayah subjek inti.
Dalam penerapan metode ini pembelajar diajak
berpartisipasi dalam memahami dan mengapresiasi kultur lain. Metode ini antara
lain dengan menyertakan pembelajar memilih buku bacaan bersama, melakukan
aktivitas bersama, mengapresiasikan
kegiatan di bidang keagamaan maupun
kebudayaan yang terdapat dalam kehidupan masyarakat. Contoh lain adalah
pendekatan
kepahlawanan dan hari libur. Selama perayaan ini, pengajar melibatkan siswa dalam pelajaran,
pengalaman, dan pawai sejarah yang berkaitan dengan kelompok etnis yang sedang
diperingati.
2. Metode
Pengayaan
Materi
pendidikan, konsep, tema dan perspektif bisa ditambahkan dalam kurikulum tanpa
harus mengubah struktur aslinya. Metode ini memperkaya kurikulum dengan
literatur dari atau tentang masyarakat yang berbeda kultur atau agamanya.
Penerapan metode ini, misalnya adalah dengan mengajak pembelajar untuk menilai
atau menguji dan kemudian mengapresiasikan cara pandang masyarakat tetapi
pembelajar tidak mengubah pemahamannya tentang hal itu, seperti pernikahan, dan
lain-lain. Metode ini juga menghadapi problem sama halnya metode kontributif,
yakni materi yang dikaji biasanya selalu berdasarkan pada perspektif sejarahwan
yang mainstream.
Peristiwa, konsep, gagasan dan isu disuguhkan dari perspektif yang dominan.
3. Metode
Transformatif
Metode
ini secara fundamental berbeda dengan dua metode sebelumnya. Metode ini
memungkinkan pembelajar melihat konsep-konsep dari sejumlah perspektif budaya,
etnik dan agama secara kritis. Metode ini memerlukan pemasukan perspektif-perspektif,
kerangka- kerangka referensi dan gagasan-gagasan yang akan memperluas pemahaman
pembelajar tentang sebuah ide.
Metode ini dapat mengubah struktur kurikulum, dan memberanikan
pembelajar untuk memahami isu dan persoalan dari beberapa perspektif etnik dan
agama tertentu. Misalnya, membahas konsep “makanan halal” dari agama atau
kebudayaan tertentu yang berpotensi menimbulkan konflik dalam masyarakat.
Metode ini menuntut pembelajar mengolah pemikiran kritis dan menjadikan prinsip
kebhinekaan sebagai premis dasarnya.
4. Metode Pembuatan Keputusan dan Aksi Sosial
Metode ini mengintegrasikan metode transformasi
dengan aktivitas nyata dimasyarakat, yang pada gilirannya bisa merangsang
terjadinya perubahan sosial. Pembelajar tidak hanya dituntut untuk memahami dan
membahas isu-isu sosial, tapi juga melakukan sesuatu yang penting berkaitan
dengan hal itu. Metode ini memerlukan pembelajar tidak hanya mengeksplorasi dan
memahami dinamika ketertindasan tetapi juga berkomitmen untuk membuat keputusan
dan mengubah sistem melalui aksi sosial. Tujuan utama metode ini adalah untuk
mengajarkan pembelajar berpikir dan kemampuan mengambil keputusan untuk
memberdayakan mereka dan membantu mereka mendapatkan
kesadaran dan kemujaraban berpolitik.
G.
Paradigma
Pendidikan Multikultural
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang
masyarakatnya sangat majemuk atau pluralis. Kemajemukan
bangsa Indonesia dapat dilihat dari dua perspektif, yaitu : perspektif vertikal
dan horizontal. Dalam perspektif horizontal, kemajemukan bangsa kita dapat
dilihat dari perbedaan agama, etnis, bahasa daerah, geografis, pakaian,
makanan, dan budayanya. Sementara itu dalam perspektif vertikal, kemajemukan
bangsa kita dapat dilihat dari perbedaan tingkat pendidikan, ekonomi,
pemukiman, pekerjaan, dan tingkat sosial budaya, Pelly (1994:68).
Kemajemukan masyarakat memberikan
dampak positif dan dapat pula menimbulkan dampak negatif. Kemajemukan terkadang
justru menimbulkan konflik antar kelompok masyarakat sehingga melahirkan
distabilitas keamanan, sosio-ekonomi, dan ketidakharmonisan sosial. Pakar
pendidikan, Sairin (dalam Mahfud, 2010 : 185) memetakan akar-akar konflik dalam
masyarakat majemuk yaitu : (1) perebutan sumber daya, alat-alat produksi, dan
kesempatan ekonomi (acces to economic resource and to means of production),
(2) perluasan batas-batas sosial budaya (social and cultural borderline
expansion) dan (3) benturan kepentingan politik, ideologi, dan agama (conflict
of political, ideology, and religious interest).
Pendidikan berparadigma
multikulturalisme penting, sebab akan mengarahkan anak didik untuk bersikap dan
berpandangan toleran dan inklusif terhadap realitas masyarakat yang beragam,
baik dalam hal budaya, suku, ras, etnis maupun agama (Mahfud, 2010:185).
Paradigma ini dimaksudkan bahwa hendaknya apresiatif terhadap budaya orang
lain, perbedaan dan keberagaman merupakan kekayaan dan khazanah bangsa. Dengan
pandangan tersebut, diharapkan sikap membenarkan pandangan sendiri dengan
menyalahkan pandangan dan pilihan orang lain dapat dihilangkan atau
diminimalisir.
Pendidikan multikultural
dimaksudkan bahwa manusia dipandang sebagai makhluk makro dan sekaligus makhluk
mikro yang tidak akan terlepas dari akar budaya bangsa dan kelompok etnisnya.
Akar makro yang kuat akan menyebabkan manusia tidak pernah tercerabut dari akar
kemanusiaannya. Sedangkan akar mikro yang kuat akan menyebabkan manusia
mempunyai tempat berpijak yang kuat sehingga tidak mudah diombang-ambingkan
oleh perubahan yang amat cepat yang menandai kehidupan modern dan pergaulan
dunia global.
Menurut Muqtafa (dalam Mahfud, 2010:187) paradigma
multikultural yang didengungkan di Indonesia tampaknya masih menjadi sebuah
wacana belaka. Sebagai tamsil adalah fenomena dimunculkannya UU kontrovensi
Sisdiknas yang sengaja didesakkan kelompok mayoritas. Masih munculnya keinginan
sekelompok orang supaya hukum-hukum yang bersumber dari agama yang dipeluknya
dilegalisasi masuk ke dalam KUHP tanpa proses objektifikasi.
Masalah ini sungguh memprihatinkan ketika kita
menilik kembali latar sosiologis-antropologi bangsa. Dalam realitas-empirik,
kenyataan ini justru kerap terabaikan. Yang terjadi seringkali bukannya
penghargaan dan pengakuan atas kehadiran yang lain, tetapi upaya untuk
mempersamakan atas nama persatuan dan kesatuan.
Sejumlah kebijakan politik yang
sangat sentralistik pada masa Orde Baru yang memaksakan ideologi
monokulturalisme yang nyaris seragam, seperti developmentalisme dan uniformitas
merupakan bukti nyata. Maka tak aneh kalau kemudian monokulturalisme
memunculkan reaksi balik dari pihak lawan dan mengandung implikasi-implikasi
negatif bagi rekonstruksi kebudayaan Indonesia yang multikultural. Selain itu,
konflik antarsuku maupun agama mulai sering bermunculan. Kesatuan dan persatuan
yang diidam-idamkan semuanya hanya semu belaka kemudian berganti menjadi
kepentingan antarsuku, daerah, rasa tau agama dengan mengesampingkan realitas
atau kepentingan yang lain. Bahkan tak jarang suatu kelompok menghalalkan
segala cara demi mewujudkan kepentingannya.
Faktor lainnya yang menyebabkan
belum terealisasi pendidikan multikultural adalah disebabkan masih dominannya
wacana toleransi dalam menyikapi realitas multikultural. Toleransi lebih kepada
sikap setiap perbedaan mengakui perbedaan lain demi menguatkan dan mengawetkan
perbedaannya sendiri. Untuk itu pengelolaan masyarakat multikultural Indonesia
harus diupayakan secara sistematis, progmatis, integrated, dan
berkesinambungan. Disinilah fungsi strategis penddikan multikultural sebagai
sebuah proses di mana seseorang mengembangkan kompetensi dalam beberapa sistem
standar untuk mempersepsi, mengevaluasi, meyakini, dan melakukan tindakan.
Dalam melaksanakan pendidikan
multikultural mesti dikembangkan prinsip solidaritas. Yakni kesiapan untuk
berjuang dan bergabung dalam perlawanan demi pegakuan perbedaan yang lain bukan
demi dirinya sendiri. Solidaritas menuntut agar melupakan upaya-upaya penguatan
identitas, melainkan menuntut agar berjuang demi dan bersama yang lain. Dengan
demikian, kehidupan multikultural yang dilandasi kesadaran akan eksistensi diri
tanpa merendahkan yang lain diharapkan segera terwujud.
H.
Pengertian Pendidikan
Berbasis Multikultural
Hernandez dalam (Mahfud, 2010:196), mengungkapkan
dua definisi klasik untuk menekankan dimensi konseptual MBE yang penting bagi
pendidik. Definisi pertama menekankan esensi MBE sebagai perspektif yang
mengakui realitas politik, sosial, ekonomi yang dialami oleh masing-masing
individu dalam pertemuan manusia yang kompleks dan beragam (plural) secara
kultur. Definisi ini juga bermaksud merefleksikan pentingnya budaya, ras,
gender, etnisitas, agama, status sosial, ekonomi, dan pengecualian-pengecualian
dalam proses pendidikan.
Dalam satu dekade, Hernandez (dalam
Mahfud, 2010:197)
mengembangkan sebuah definisi operasional tentang MBE. Dalam
konseptualisasinya, MBE adalah sebuah kegiatan pendidikan yang bersifat empowering.
Oleh karenanya, MBE, menurut Hernandez, adalah sebuah visi tentang pendidikan
yang selayaknya dan seharusnya bisa untuk semua anak didik.
Berkaitan dengan anak didik, MBE
mempersoalkan tentang etnisitas, gender, kelas, bahasa, agama, dan perkecualian
yang mempengaruhi, membentuk, dan mempola tiap-tiap individu sebagai makhluk
budaya. MBE adalah hasil perkembangan seutuhnya dari interaksi unik
masing-masing individu yang memiliki kecerdasan, kemampuan, dan bakat. MBE
mempersiapkan anak didik bagi kewarganegaraan dalam komunitas budaya dan bahasa
yang majemuk dan saling berkait.
MBE juga berkenaan dengan perubahan
pendidikan yang signifikan. Ia menggambarkan realitas budaya, politik, sosial,
ekonomi yang kompleks, yang secara luas dan sistematis mempengaruhi segala
sesuatu yang terjadi di dalam sekolah dan luar ruangan yang menyangkut seluruh
aset pendidikan yang termanifestasikan melalui konteks, proses dan muatan. MBE
menegaskan dan memperluas kembali praktik yang patut dicontoh, dan berupaya
memperbaiki berbagai kesempatan pendidikan optimal yang tertolak. Ia
memperbincangkan seputar penciptaan lembaga-lembaga pendidikan yang menyediakan
lingkungan pembelajaran yang dinamis, yang mencerminkan cita-cita persamaan,
kesetaraan, dan keunggulan.
I.
Wacana
Pendidikan Multikultural di Indonesia
Wacana pendidikan multikultural di
Indonesia belum tuntas dikaji oleh berbagai kalangan, termasuk para pakar dan
pemerhati pendidikan sekalipun. Di Indonesia, pendidikan multikultural relatif
baru dikenal sebagai suatu pendekatan yang dianggap lebih sesuai bagi
masyarakat Indonesia yang heterogen, plural. Terlebih pada masa otonomi dan
desentralisasi yang baru diberlakukan sejak 1999 hingga saat ini. Pendidikan
multikultural yang dikembangkan di Indonesia sejalan dengan pengembangan
demokrasi yang dijalankan sebagai counter
terhadap kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah (otoda). Apabila hal itu
dilaksanakan dengan tidak berhati-hati, justru mungkin akan menjerumuskan kita
ke dalam perpecahan nasional (disintegrasi bangsa dan separatisme).
Menurut
Azra (dalam Mahfud, 2010:198), pada level nasional, berakhirnya sentralisme kekuasaan
yang pada masa Orde Baru memaksakan “monokulturalisme” yang nyaris seragam,
memunculkan reaksi balik, yang mengandung implikasi negative bagi rekonstruksi
kebudayaan Indonesia yang multicultural. Bersamaan dengan proses otonomisasi dan
desentralisasi kekuasaan pemerintahan, juga terjadi peningkatan fenomena/
gejala “provinsialisme” yang hampir tumpang tindih dengan “etnisitas”. Kecenderungan ini, jika tidak
terkendali, akan dapat menimbulkan tidak hanya disintegrasi sosio-kultural yang
amat parah, bahkan juga disintegrasi politik.
Model
pendidikan di Indonesia, juga di negara-negara lain, menunjukkan keragaman
tujuan yang menerapkan strategi dan sarana yang dipakai untuk mencapainya.
Sejumlah kritikus melihat, bahwa revisi kurikulum sekolah yang dilakukan dalam
proses pendidikan multicultural di Inggris dan beberapa tempat di Australia dan
Kanada, terbatas pada keragaman budaya yang ada; jadi, terbatas pada dimensi
kognitif.
Penambahan
informasi tentang keragaman budaya merupakan model pendidikan multicultural
yang mencakup revisi atau materi pembelajaran, termasuk revisi buku-buku teks.
Terlepas dari kritik atas penerapannya di beberapa tempat, revisi pembelajaran
seperti yang terjadi di Amerika Serikat merupakan strategi yang dianggap paling
penting dalam reformasi pendidikan dan kurikulum. Penulisan kembali sejarah
Amerika dari perspektif yang lebih beragam merupakan suatu agenda pendidikan
yang diperjuangkan intelektual, aktivis dan praktisi pendidikan .
Di
Jepang, aktivis kemanusiaan melakukan advokasi serius untuk merevisi buku
sejarah, terutama yang menyangkut peran Jepang pada Perang Dunia II di Asia.
Walaupun belum diterima, usaha ini sudah mulai membuka mata sebagai masyarakat
akan pentingnya perspektif baru tentang perang, agar tragedi kemanusiaan tidak terulang kembali.
Sementara, di Indonesia masih diperlukan usaha yang panjang dalam merevisi
buku-buku teks agar mengakomodasi kontribusi dalam pertisipasi yang lebih
inklusif bagi warga dari berbagai latar belakang suku, agama, budaya dan etnis.
Di Indonesia juga memerlukan materi pembelajaran yang bisa mengatasi “dendam
sejarah” di berbagai wilayah.
Model
lainnya, pendidikan multicultural tidak sekedar merevisi materi pembelajaraan,
tetapi juga melakukan reformasi dalam system pembelajaran itu sendiri. Affirmative Action dalam seleksi siswa
sampai rekrutmen tenaga pengajar di Amerika adalah salah satu strategi untuk
membuat perbaikan ketimpang struktural terhadap kelompok minoritas. Contoh yang
lain adalah model “sekolah pembauran” Iskandar Muda di Medan yang memfasilitasi
interaksi siswa dari berbagai latar belakang budaya dan menyusun program anak
asuh lintas kelompok. Di Amerika Serikat, bersamaan dengan masuknya wacana
tentang multikulturalisme, dilakukan berbagai lokakarya di sekolah-sekolah
maupun di masyarakat luas untuk meningkatkan kepekaan social ( sense of crisis ), toleransi dan
mengurangi prasangka antarkelompok.
Untuk
mewujudkan model-model tersebut, pendidikan multikultural di Indonesia perlu
memakai kombinasi model yang ada, agar, seperti yang diajukan Gorski (dalam
Mahfud, 2010:200),
pendidikan multikultural dapat mencakup tiga jenis transformasi: ( 1 )
transformasi diri; ( 2 ) transformasi sekolah dan proses belajar mengajar, dan
( 3 ) transformasi masyarakat.
Selain itu, wacana pendidikan multikultural dimungkinkan
akan terus berkembang seperti bola salju ( snow
ball ) yang menggelinding semakin membesar dan ramai diperbincangkan. Dan
yang lebih penting dan kita harapkan adalah, wacana pendidikan multicultural
akan dapat diberlakukan dalam dunia pendidikan di negeri yang multikultural ini.
Apakah nantinya terwujud dalam kurikulum, materi, dan metode, ataukah dalam
wujud yang lainnya.
Untuk
pelaksanaan pendidikan multikultural di Indonesia pada saat ini, model
kurikulum yang digunakan adalah menggunakan model tematik. Dalam model
pembelajaran tematik ini peserta didik dan guru dapat memilih tema-tema mana
yang dapat dikembangkan sesuai dengan kondisi multikultural yang ada di
Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar